Mantab

Mantab

Akibat Masturbasi di Toilet Sekolah

10.3.10
Aku meraba klitorisku dengan jari jariku, terasa nikmat sekali, beberapa saat kututup mataku. Cepat sekali vaginaku sudah licin, basah sekali, sentuhan jari jariku semakin menebarkan rasa nikmat. Sesekali aku tekan lebih keras, tubuhku rasanya tidak sanggup menopang tubuhku, lututku bergetar lemas tidak kuat menopang tubuhku.

Oh ya, keasikan neh, perkenalkan namaku dona, 26 tahun, masih single, aku bekerja sebagai seorang guru SD di Jakarta. Hobiku adalah masturbasi sambil menghayalkan pria pujaanku, fantasi-fantasi liar sering kali terlintas dikepalaku dan tidak dapat kubendung, apalagi semenjak aku jomblo hampir setahun ini.

Dan beginilah, belakangan ini jika sedang horny aku tidak kenal tempat untuk memuaskan gejolak birahiku. Balik ke cerita tadi...

Sangkin nikmatnya masturbasi di toilet sekolah, aku sampai tidak menyadari kalau pintu toilet meski kututup tapi tidak kukunci. Aku semakin tidak peduli, yang kutahu aku harus memuaskan birahiku yang sedang terbakar, kucoba menahan desahanku, meski terkadang terlepas juga desisan desisan kecil dari bibir tipisku.

"sshh..emhhh", desisan kecil sesekali keluur dari bibir tipisku.

Aku membayangkan bercinta dengan pak Oki, guru olah raga baru disekolah tempatku bekerja, pak Oki sungguh tampan dan tubuhnya yang sangat kekar, tadi siang aku memperhatikannya yang sedang memberi petunjuk cara meregangkan otot kepada murid kelas 6 SD. ototnya begitu kekar, belum lagi ada tonjolan yang menggelembung di antara pahanya. Terus terbayang-bayang, aku jadi gak kuut lagi menahan birahiku sampai akhirnya berujung di toilet sekolah ini ketika jam pelajaran berakhir dan sekolah sudah sepi. Aku membayangkan bercinta dengan pak Oki di toilet ini, dia memompa k*ntolnya yang besar di vaginaku dari arah belakang, tubuhnya mendorong tubuhku sehingga aku terpaksa menahan tubuhku di tembok toilet dan sedikit menungging.

Aku mempraktekkannya seolah-olah semuanya nyata, satu tanganku bertopang di dinding dan yang lain membelai klitorisku dari depan.
'uuuh pak oki', desisku pelan. aku terus mengejar kenikmatan, keringatku mulai keluar dari atas keningku. Tidak lama aku merasa hampir tiba di ujung kenikmatan itu, namun tiba-tiba,

'braaak', pintu toilet tiba tiba terbuka.

'bu dona', kata orang yang berdiri di depan pintu toilet dengan mata yang tidak berkedip sedikitpun melihatku. Aku tersentak kaget,

'pak parman ehhhh...', kataku kaget ketika melihat pak parman, cleaning service sekolah yang umurnya sekitar 40 tahun. Sangkin kagetnya dan tidak tau berbuat apa aku jongkok merapatkan kakiku sangkin kagetnya, namun tanganku masih berada diantara selangkanganku, aku begitu kaget sampai luapa menarik tanganku.

'pak parmaan keluar', kataku dengan suara pelan. Wajahku pucat sangkin takut dan malunya. Kurang ajar benar dia, bukannya keluar tapi malah cepat-cepat masuk dan menutup pintu kamar toilet dan menguncinya.

'ngapain pak... keluar,' perintahku dengan tetap berjongkok sambil merapikan rok ku ke bawah yang tadinya tersingkap sampai ke pinggul.
'Bu dona', kata parman sambil mendekatiku dan mendekap tubuhku. Aku bertambah kaget, tapi aku tdak berani berteriak, aku takut ada orang yang mengetahui kalau aku masturbasi di toilet sekolah.

'jangaan pak', kataku berusaha melepaskan dekapannya, kugeser tubuhku untuk melepaskan diri dari dekapannya, namun dia tetap mendekapku sampai aku menabrak dinding.

'jangan paak', kataku takut, dia tidak mendengarkanku, bahkan dia mendekatkan wajahnya dan menciumi leherku,
'jangaaan', kataku lagi.

Melihat parman yang begitu beringas dengan nafas mendengus dengaus menciumi leherku dan tangannya mulai meraba raba buah dadaku. Aku menyadari kalau aku terjebak, aku berusaha melawan, dengan sekuat tenaga aku dorong tubuhnya, berhasil, dia terjatuh di lantai toilet.

Aku langsung mengambil kesempatan, berdiri ke arah pintu, namun ketika aku mencoba membuka grendel pintu toilet. Tanganku tertahan oleh tangan parman yang kekar,

'lepaskan', kataku, namun parman yang sudah kesetanan itu tidak mendengarkanku, dia malah memutar tangan kananku ke belakang tubuhku dengan paksa, tangannya yang lain menahan tangan kiriku didinding. Aku terjebak, tenaganya kuat sekali, tubuhku seperti terkunci dan tidak bisa bergerak,

'pak parmman jangan...sakit..lepaskan', kataku memohon dengan suara memelas.

'bu dona... biarkan aku...', katanya didekat telingaku, dengusan nafasnya sampai terasa menerpa telingaku.

"ahhh lepaskan', aku memohon lagi begitu mengetahui tubuh kekarnya menekan tubuhku kedinding. Aku sangat takut, ketika merasa ada benda yang keras kenyal menabrak bokongku.

'ahh k*ntolnya udah tegang, dia akan memperkosaku', jerit batinku

Aku semakin memberontak berusaha melepaskan kuncian tangannya yang menahan kedua tanganku.
'sebaiknya bu dona jangan berisik, nanti ada orang yag dengar, biarlah saya dipukuli orang tetapi saya akan cerita ke semua orang kalau ibu dona masturbasi di kamar mandi', katanya mengancam, aku mengurangi perlawananku, ancamannya begitu mengena. Apalagi di sekolah aku dikenal sebagai wanita anggun yang berkarisma. Aku menghentikan perlawananku...berpikir sejenak.

Kesempatan itu tidak disia siakannya, tangan kananku diletakkan keatas merapat didinding bersatu dengan tangan kiriku, dengan tangan kirinya dia menahan kedua tanganku.

'jangan paak, kumohhhon jangaan', aku memelas kepadanya. Tapi sia-sia, tangan kanannya sudah bebas meraba raba buah dadaku, dia memeras buah dadaku keras sekali. Ingin rasanya menangis tetapi aku takut malah ada yang dengar.

"aahh bu dona..toked bu dona gede banget emmhh', kata-kata kotor yang memuji keindahan tubuhku keluar dari mulutnya.Kurang puas meraba buah dadaku yang masih ditutupi kemeja, dia menarik kemejaku keatas melepaskan dari dalam rokku. Tangannya yang kasar mulai terasa meraba raba perutku,

'ammpuun pak lepaskan', kucoba lagi memohon ketika dia mulai memeras buah dadaku.

'emmh bu dona, gede banget toket bu dona'', katanya lagi dengan berbisik dari belakang, dengusan nafasnya yang berderu menandakan dia sangat bernafsu. Dan aku bisa merasakan penisnya sudah sangat keras sekali menabrak nabrak pantatku. Ini semua menandakan dia benar benar sudah sangat ingin menyetubuhiku.

'Bu dona ijinkan saya ngent*tin bu dona', bisiknya pelan sambil menarik rokku keatas. Aku kaget mendengarnya, tetapi tenagaku tidak cukup kuat melepaskan kuncian tangannya.

'Pak..jangan jangan kasihani aku', kataku memelas. Sepertinya apapun yang kukatakan tidak dapat membendung nafsu setannya, sejenak tidak kurasakan tangan kanannya meraba raba tubuhku.

Penasaran apa yang dilakukannya. aku menoleh ke belakang dan alangkah kagetnya..
'oooh jangan pak', aku panik ketika melihat ke belakang dia mengeluarkan k*ntolnya, meski tidak begitu jelas aku bisa melihat penisnya yang besar dan hitam legam sudah keluar dari sarangnya. Belum hilang rasa kagetku, Parman menekan tubuhku merapat kedinding, aku merasakan benda kenyal dan keras mengesek dan menabrak pantatku.

'Aduuh pantat bu dona montok banget', katanya meremas remas pantatku. Aku terkaget, aku baru teringat jika ketika masturbasi tadi aku melepas celana dalamku dan celana dalamku masih tergantung di pintu toilet.

'Gawat neh', pekikku dalam hati mengetahui bokongku tidak dibaluti kain sedikitpun. Pasti dia dengan mudah mencari sasaran tembaknya apa lagi vaginaku udah mengeluarkan cairan karena masturbasi tadi, aku menjadi panik kembali, aku takut membayangkannya. Kucoba lagi memberontak, tapi tetap sia sia.

Aku pasrah, rasanya tidak mungkin lepas, kurasakan ada benda kenyal sedang menggesek gesek belahan vaginaku yang licin seperti mencari cari sasaran. Akhirnya benda itu berhenti tepat di mulut lubang vaginaku setelah mendapatkan sasaran tembak, k*ntol parman sudah berada tepat di depan mulut vaginaku, aku sungguh tidak berdaya.

'Pak parman ampun pak', kataku memohon lagi menyadari dalam hitungan detik k*ntolnya akan segera masuk kedalam tubuhku.

'Bu dona udah lama saya pengen giniin bu dona, bu dona seksi banget', katanya, dan tiba tiba kurasakan k*ntolnya mulai masuk, aku panik mencoba melawan sengan sisa sisa harapanku, bukannya terlepas tapi malah karena gerakan tubuhku k*ntol itu malah terbenam masuk ke dalam lubang vaginaku,

'aaaah tidaaak', pekikku dalam hati ketika kurasakan k*ntolnya terasa terbenam memenuhi vaginaku. Aku menarik nafas, ingin rasanya menangis.

Sungguh sial, vaginaku yang sudah basah ketika aku masturbasi tadi malah memudahkan batang itu masuk, tetapi kupikir itu lebih baik, jika tidak mungkin vaginaku bisa lecet karena ada benda yang memaksa masuk, tapi berkat cairan yang sebelumnya memang udah membanjiri vaginaku membuat k*ntol parman yang besar itu pun masuk perlahan menggesek dinding lubang vaginaku perlahan.

'emmmh bu dona, vagina bu dona enak banget, ooohhh', desahnya didekat telingaku ketika k*ntolnya dibenamkan sedalam dalam mungkin dan terasa menyentuh rahimku,

'Ya ampuuun panjang banget k*ntol laki laki ini, ampuuun', pekikku dalam hati. Aku berharap k*ntol itu udah mentok karena terasa sangat keras menabrak rahimku dan terasa sedikit perih karena jujur aja belum pernah ada benda sebesar itu masuk ke vaginaku. Ketika batangan itu amblas, aku terdiam, antara bingung, takut, takjub, nikmat dan kaget. Semuanya berkecamuk dikepalaku... aku benar benar terdiam, tidak bergerak.

Aku pasrah, tidak mengeluarkan sepatah katapun, tidak kusangka khyalanku bercinta di toilet sekolah, dan disetubuhi dari belakang kesampean juga, tetapi bedanya bukan dengan pak oki dan aku tidak menginginkan ini terjadi. Tapi kenyataannya, laki laki yang sedang mendesah desah dibelakangku, yang sedang membenamkan batangannya di lubang surgaku yang berharga adalah pegawai kebersihan alias cleaning service di sekolah kami.

Kenyataan yang harus kuterima, parman sedang menikmati vaginaku, menikmati memompa penisnya keluar masuk di lubang kemaluanku.

'oooh bu dona...ohhh enaknya', desah parman ga karuan berkali kali

'emmmh', aku mendesis kecil, meski aku tidak suka tapi tiba-tiba aku merasakan rasa nikmat meski tersamar oleh rasa takutku. Parman terus mengocok k*ntolnya tanpa henti, begitu dalam melesak masuk di lubang vaginaku. Kedua tanganku masih ditahan oleh tangannya yang kekar di dinding toilet.

'oooh ya ampppuuun k*ntolnya teraasa banget', teriakku dalam hati. Ketika aku mulai tenang, aku menyadari kalau k*ntol parman memang besar dan keras sekali, gesekan dan tusukan k*ntolnya begitu mantap memenuhi lubang vaginaku. Terasa banget ada benda yang mengganjal selangkangku, mulai menebarkan rasa nikmat yang menjalar diseluruh tubuhku.

Diam diam aku mulai menikmati diperkosa pria ini, tiap kali dia menggerakkan batang k*ntolnya, darahku berdesir, sungguh luar biasa nikmat yang kudapat. Ketika dia menancapkan penisnya kembali ke dalam liangku, aku mendesis pelan, kucoba tidak mengeluarkan suara, aku terlalu sombong untuk mengakui kalau batangan itu sungguh memberikan kenikmatan padaku, tetapi tetap saja desisan kecil keluar dari bibirku. Tidak bisa kupungkiti kalau batangan Parman adalah yang paling besar yang pernah masuk ke lubang cintaku, kerasnya juga bukan main.

'mmmh mmmmh', desisku pelan ketika Parman mendesak masuk k*ntolnya dalam dalam.

'enakkan bu?, katanya tiba tiba.

Ternyata dia mengetahui kalau aku mulai menikmati tusukan k*ntolnya. Aku terdiam malu, tidak berani berkomentar, kalau kubilang tidak atau memaki makinya, dia pasti tahu aku bohong karena vaginaku sudah mengeluarkan banyak cairan yang menandakan aku juga terangsang dan menikmati enjotan k*ntolnya. Aku menundukkan kepalaku dan mencoba menghindari ciuman bibirnya yang mengecup pipi kananku.

'Tunggingin dikit bu dona', katanya sambil menarik pantatku keatas.

'Kurang ajaaar... berani beraninya dia malah menyuruhku menungging', umpatku dalam hati.

Tapi aku tidak punya pilihan selain menuntaskan birahinya secepat mungkin, dan berharap agar semuanya secepat mungkin berakhir. Aku ikuti saja kemauannya dengan menunggingkan sedikit pantatku.

'emmh pantat bo dona memang montok banget, ga salah apa yang aku khayalin selama ini', katanya sambil meremas remas bokongku gemas.

'Gila, ternyata aku sudah lama jadi fantasi laki laki ini', pikirku dalam hati.

Merasa posisiku sudah siap, sambil tangan kirinya menahan pinggulku, dia kembali menggerakkan k*ntolnya kembali.

'emmh pak pelan', kataku ketika kurasakan penetrasi k*ntolnya terasa lebih dalam dari sebelumnya,mungkin karena aku menunggingkan pantatku sehingga posisi vaginaku benar-benar bebas hambatan.

Parman tidak memperlambat kocokannya, dia malah mempercepat, aku mulai mendesah-desah pelan masih menjaga sikapku,

'emmh emmmh', desisku pelan merasakan gesekan batangannya di lubang vaginaku yang sangat terasa sekali. Batang k*ontolnya sangat keras dan terasa dalam sekali keluar masuk didalam lubang surgaku.

Melihat tubuhku yang terdorong dorong kedepan, parman sepertinya sengaja melepaskan kedua tanganku sehingga aku dapat menahan tekanan tubuhnya, dengan kedua tanganku bertopang pada tembok.

'emmmh gila seret banget', erangnya. Kini kedua-tangannya meremas remas bokongku yang bulat padat sambil tidak berhenti mengocok k*ntolnya.

'ooh bu oooh', parman semakin keras mendesah, aku jadi takut kalau-kalau ada orang yang mendengar desahannya itu.

"pak parman..ja..jangan berisik pak..", kataku memohon takut desahannya didengar orang.

'I..i..iya bu emhh abis enak banget', katanya pelan dengan nafas menderu.

Kocokan k*ntolnya terasa semakin cepat. Kurang puas meremas-remas bokongku, dia menguakkan belahan pantatku. dan kurasakan satu jarinya membelai anusku. Kontan aja aku menggeliat, pantatku bergoyang ke kanan ke kiri karena kegelian.

'oooh pak parman..oooh', aku bukan lagi mendesis tetapi desahan mulai keluar dari bibirku, rasa nikmat yang tercipta dari kocokan k*ntol parman ditambah gesekan jarinya yang membelai anusku seperti racikan yang pas membuat aku lupa diri, dan membuatku tidak dapat membendung desahanku. Hebat sekali, rasanya aku mulai benar benar menikmati semua ini, tubuhku terasa sangat geli, kenikmatan rasanya menyebar diseluruh tubuhku.

Vaginaku mengeluarkan banyak sekali cairan yang melumuri k*ntol Parman yang semakin leluasa keluar masuk di lubang cintaku. Suara kecipakpun mulai terdengat di oilet sekolah itu, namun aku hiraukan, suara kecipak itu malah menambah sensasi nikmat yang aku rasakan.

'oooh ahhh', aku semankin menggila desahanku bertambah keras saja, parman bukan saja hanya membelai anusku dengan jarinya tetapi memasukkan satu jarinya ke anusku dan menusuk nusuk jarinya di anusku, refleks pantatku semakin kutungingin, tiap kali dia menarik k*ntolnya dia membalasnya dengan menusukkan jarinya ke anusku. Jujur saja terlintas dibenakku untuk melakukan anal sex dengan pak parman, seperti yang dulu pernah kulakuan dengan pacarku.

Parman semakin mengerang tak karuan, tidak kuhiraukan lagi apa yang dikatakan parman, rasanya aku sudah mau orgasme.

'saya mau keluar..ahh bu dona', kudengar samar samar erangannya, namun tidak kupedulikan karena aku juga merasa sudah mau orgasme.

'ooh emmmh oooh' desahku lebih keras, kurapatkan tubuhku kedinding, parman mengikuti tubuhku dan menekan keras keras k*ntolnya kedalam vaginaku, bahkan dia menusuk jarinya sampai amblas didalam anusku

'ahhhh setaaan kau parmaaaaan', lirihku panjang, aku orgasme, aku tidak dapat menahannya, sungguh luar biasa aku bisa orgasme ketika diperkosa.

Kutelan air liurku menikmati sisa kenikmatan, masih kurasakan penis parman memenuhi liangku, tetapi tidak kurasakan lagi jari parman di anusku, kedua tangannya memegang pantatku dan memompa k*ntolnya dengan ganas.

'oooh bu dona oooh...emmh', tiba tiba parman mengerang keras dan menekan tubuhku keras, aku kaget menyadari dia mau orgasme, tapi terlambat, diringi erangannya, k*ntol Parman berdenyut-denyut keras dan batangan itu langsung menyemburkan sperma hangat menyirahi rahimku. Berkali kali dia mengehentakkan penisnya dalam-dalam membuat tubuhku terdorong ke tembok.

'ooooh emmmh', entah kenapa aku ikut menikmati sensasi ketika parman orgasme di liangku, denyutan-denyutan kecil batang k*ntolnya terasa di dinding lubang vaginaku ketika cairan hangat spermanya berhamburan keluar menyirami lubangku.

'Ahhh apa yang kulakukan? Parman orgasme di vaginaku', pekikku dalam hati. Aku tersadar kembali, kurapatkan tubuhku kedinding dan menarik nafasku, aku teringat kalau aku memang sudah mau haid, aku hanya bisa berharap spermanya tidak membuahi telur dirahimku.

'ahh bu dona emmh', dia mencoba mencium pipiku tapi kudorong dengan mata melotot. Melihatku protes, dia segera merapikan pakaiannya tanpa membersihkan k*ntolnya yang masih dilumuri cairan vaginaku.

'Cepat keluar pak', kataku dengan suara lantang sambil merapikan posisi rokku. Parman tanpa berkata apa apa langsung keluar dan kukunci pintu toilet. Aku langsung membersihkan kemaluanku dari cairanku sendiri dan sperma parman yang mengalir keluar,

'gila..banyak banget spermanya', umpatku dalam hati.

Aku mengenakan celana dalam dan merapikan baju yang kukenakan. Aku mengendap endap keluar toilet dengan hati berdebar, takut ada orang yang mengetahui apa yang terjadi tadi di toilet. Suasana sekitar sekolah sepi, memang saat itu sudah hampir jam 4 sore. Dengan hati berdebar aku memasuki ruangan guru, kulihat kepala sekolah dan 2 orang guru belum pulang mereka lagi sibuk dengan urusan masing masing. Aku sedikit bernafas lega meski perasaan kotor masih ada dipikiranku. Dan sore itu aku pulang kerumah dengan perasaan yang tidak menentu antara malu, takjub dan takut.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dihari-hari esok pada diriku...ahh hidup...
Read Full 0 komentar

Birahi Di Tengah Samudra

8.3.10
Namaku Ryan (bukan nama yang sebenarnya), pangilan akrabku kuanggap bagus dan selalu membawa kehokian yang baik dan ditunjang dengan postur tubuhku yang sangat atletis, tinggi 167 cm dengan berat badan 58 kg sangatlah membantuku dalam segala kegiatan. Keramahan serta rendah hati adalah senjataku karena aku berprinsip banyak teman banyak rejeki dan tidak kelewatan pula pasti banyak wanita yang tergoda. Dengan formasi yang begitu, tentu anda tahu seleraku. Aku sangat menyukai wanita yang berumur sekitar 30 hingga 37 tahun dimana mereka umumnya sangatlah cantik, dewasa dan terlihat sangat anggun. Entah mengapa Tuhan memberi anugerah kecantikan wanita yang sempurna bila mereka berumur sekitar yang kusebutkan di atas.

Aku bekerja di perusahaan P**** (edited) yang sangat syarat berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat dengan posisi yang lumayan srategis.

Diawali dengan perkenalanku dengan seorang pramuniaga yang sangat cantik, umurnya sekitar 33 tahun dan mempunyai anak satu. Henny namanya, sangat mudah diingat dan sangat enak terdengar di telinga. Perkenalanku berawal ketika aku sedang berlibur ke Kalimanatan (Banjarmasin). Perkenalan itu sangat indah dan romantis, disaat matahari tenggelam tertelan air laut di atas dek ferry kulihat seorang wanita bersandar di tiang besi dengan rambut yang tergerai melambai-lambai tertiup sepoi-sepoi angin laut, sungguh cantik dan sexy lekuk tubuh dan dadanya membusung ke depan, sweter unggu serta span warna hitam tak dapat menyembunyikan keindahan tubuhnya.

Dengan langkah yang pasti kuhampiri dengan sedikit sapaan dan percakapan yang sopan mulailah ia terbawa oleh obrolanku yang sedikit humor dan kadang menimbulkan gelak tawa yang memunculkan lesung pipinya, ya ampun cantik betul mahluk ini. Setelah puas dengan ngobrol ini itu dan matahari pun malu menampakkan wajahnya ternyata sudah pukul 19:00 WIB, tak terasa sudah perkenalan yang begitu lama di atas dek dan kami memutuskan untuk kembali ke bangku masing-masing. Kami berjanji akan bertemu kembali jam 21:30 di tiang besi saksi perkenalan kami.

Setelah mandi dan merapikan diri, tak sadar handphone-ku berdering, alarm yang sengaja kupasang telah memanggilku untuk segera naik ke dek karena sudah waktunya kujemput bidadariku di atas dek. “Hai Ryan..” sapa merdu Henny menyapaku dengan menepuk punggungku saat aku memandang lautan.
“Hai, Hen..” sedikit taktik, kubelai rambutnya.
“Maaf Hen..” kataku mesra.
“Ada apa Ryan..” balasnya manja.
“Nih benang bikin rusak pemandangan,” jawabku, padahal benang itu sejak tadi ada di tanganku.
“Oh kamu ini bisa aja Ryan..” bisiknya manja.

Henny sudah bercerai 3 tahun yang lalu dikarenakan suaminya suka berjudi dan mabuk-mabukan yang membuatnya banyak dililit hutang dan kehidupan rumah tangganya selalu tak terhindar akan keributan.

“Kenapa kamu tak cari suami lagi, Hen..” tanyaku untuk memecahkan keheningan.
“Ah.. nantilah,” jawabnya, “Aku masih suka sendiri dan masih kunikmati peran gandaku sebagai ibu dan ayahnya Ranny (anaknya, red) toh masih cukup gajiku untuk membiayainya.”
“Hebat kamu Hen, bagitu tegar dalam keadaan begitu. Kurang apa coba.. kamu mandiri, cantik, sexy dan masih muda lagi, akupun mau mendaftar kalo masih ada lowongan.. ahahaha..” aku sengaja tertawa untuk meriuhkan suasana karena kulihat dia diam dengan wajah agak memerah.
“Hahahhaha..” ternyata dia tertawa, “Ach kamu ini pantesnya jadi adikku,” jawabnya melecehkan.
“Hahahaha.. aku malah,” terbahak-bahak karenanya, “Lho meskipun adik tapi bisa buat adik si Ranny lho.”
“Mana mungkin,” jawabnya.
“Lha kok nggak percaya.. jangan ketagihan ya nanti,” jawabku.
“Yee.. siapa yang mau,” godanya manja.
“Aku yang mau,” jawabku.
Kamipun tertawa riang.
“Dasar buaya,” jawabnya.

Tanpa sadar kapal bergoyang dan angin semakin kencang dan Henny sudah ada di pelukanku, karena terombang-ambing kapal kudekap tubuh sintalnya dan tak luput kupengang buah dadanya yang besar, ternyata diapun diam saja. Kutahan goyangan kapal dan tak kulewatkan kesempatan itu dengan sedikit fantasiku goyangkan pantatku dan.., “Ach.. nakalnya kamu..” ternyata diapun menyadari makin nekadnya aku mengambil kesempatan dalam kesempitan sambil mencubit pinggangku, “Menggoda ya..” bisiknya.
“Ach masa, tapi suka kan,” jawabku.
“Hahahaa..” gelak tawapun tak terhindarkan lagi.
“Hen turun yuk, bahaya nich.. kayaknya angin semakin kencang dan goyangan kapal semakin garang kalo aku yang goyang kamu sich nggak masalah, lha ini kapal yang goyang.. hehehe..” ajakku mesra.
“Dasaar.. dasaar, bener-bener buaya kamu Ryan,” balasnya manja.
“Pppsst.. bukan buaya tapi biawak.. hahahha..” balasku.

Kamipun menuju anak tangga, satu persatu anak tangga kami lalui dengan tangan yang melingkari perutnya dan diapun melingkarkan tangannya di pinggangku. Dengan berani kucium telinganya, dia diam saja hanya reaksi tangannya saja yang menggenggam perutku dan kamipun sudah sampai di depan pintu yang bertuliskan staff only lalu kutarik pinggangnya untuk masuk, diapun tidak menolak. Dengan luas ruangan 2 X 4 m2 sangatlah luas bagi kami berdua. Dalam keremangan lampu kulumat bibir tipisnya, nafas kamipun semakin menderu. Ternyata dia pengalaman sekali dalam french kiss.

Kami berciuman 5 menit lamanya dan dia mulai membuka sweternya sedang aku membuka jaket kulitku dan kami jadikan alas hingga tiada benang sehelaipun yang melekat di tubuh kami berdua. Sungguh indah tubuhnya, dengan ukuran payudara 36B dan belum turun kuanggap sangatlah sempurna. Dalam keadaan berdiri, kulumat bibirnya dan mulailah turun ke tengguk hingga payudaranya dengan puting yang merah muda, “Seperti masih ABG saja,” pikirku. Kulumat yang kanan dan kupiin-pilin yang kiri membuat suaranya, “Hmm.. ach.. hmm.. sppt.. Ryan teruskan Ryan.. aacch, enak Ryan..” Kepalaku pun ditekannya ke dadanya, tak kupedulikan dia, kuhisap, kugigit-gigit kecil putingnya hingga ia makin menjambak rambutku. Dengan jenggot yang baru kucukur 2 hari yang lalu kugesek-gesekan daguku di gunung kembarnya. “Oooh Ryan.. please masukin dong.. sstt..” Tak kupedulikan ocehannya hingga kulumat perutnya, pusarnya dan akhirnya sampailah di gundukan surga dunia, sungguh indah.

Mataku terbelalak ternyata tidak ada sehelai rambutpun di sekelilingnya, harum dan wangi yang khas. Wajahnya yang cantik tersenyum manis padaku, kuturunkan wajahku sambil terus menjulurkan lidah di permukaan perutnya terus turun dan sampai di daerah yang paling kusukai, wangi sekali baunya. Tak perlu ragu. “Ohh.. apa yang akan kau lakukan.. akh..” desahnya sambil memejamkan mata menahan kenikmatan yang dirasakannya.

Beberapa saat kemudian tangannya malah mendorong kepalaku semakin bawah dan, “Nyam-nyam..” Nikmat sekali kemaluan Henny. Oh, bukit kecil yang berwarna merah merangsang birahiku. Kusibakkan kedua bibir kemaluannya dan, “Creep..” ujung hidungku kupaksakan masuk ke dalam celah kemaluan yang sudah sejak tadi becek. “Aaahh.. kamu nakaal,” jeritnya cukup keras. Terus terang kemaluannya adalah terindah yang pernah kucicipi, bibir kemaluannya yang merah merekah dengan bentuknya yang gemuk dan lebar itu membuatku semakin bernafsu saja. Secara bergantian, kutarik kecil kedua belah bibir kemaluan itu dengan mulutku. “Ooohh lidahmu.. ooh nikmatnya Ryan..” lirih Henny. “Ryan, udah dong Ryan masukin aja.. Ryan oohh.. aku udah nggak tahan nich, please setubuhi aku..” pinta Henny lirih. Tanpa banyak mulut kumasukkan batang kemaluanku yang panjang dan tegak itu, dia tersentak, “Ach pelan dong Say.. sstt..” Kugenjot dengan penuh perasaan, sementara tanganku tidak tinggal diam, kupilin-pilin puting susunya yang mungil.

Hanya sepuluh menit setelah itu goyangan tubuh Henny terasa menegang, aku mengerti kalau itu adalah gejala orgasme yang akan segera diraihnya. “Ryann.. aahh.. aku nggaak.. nggak kuaat aahh.. aahh.. oohh..” desahnya tertahan. “Tahan Hen.. tunggu saya dulu ngg.. ooh enaknya.. tahan dulu.. jangan keluarin dulu..” Tapi sia-sia saja, tubuh Henny menegang kaku, tangannya mencengkram erat di pundakku, dadanya menjauh dari wajahku hingga kedua telapak tanganku semakin leluasa memberikan remasan pada buah dadanya. Aku sadar sulitnya menahan orgasme itu, mungkin karena lamanya ku-oral kemaluannya yang enak itu.


“Ooo.. ngg.. aahh.. Ryan sayang.. Ryan.. ooh enaak.. aku kelauaar.. oohh.. oohh..” teriaknya panjang mengakhiri babak permainan itu. Aku merasakan jepitan kemaluannya di sekeliling burungku mengeras dan terasa mencengkram erat sekali, sementara itu batang kemaluanku masih tegak berdiri sedangkan dia sudah 4 atau 5 kali orgasme.
“Ryan, ayo dong Say aku udah nggak tahan nich.. Ryan keluarin dong.. aku hisap aja ya, biar cepat keluar..” Tanpa kusuruh dia sudah melumat dan menyedot kemaluanku.
“Astaga..” kurasakan tekanan dari dalam batangku sepertinya akan keluar. “Hen.. Hen.. stop Hen.. aku mau keluar nich..” desahku tertahan.
“Ya udah Ryan, masukin aja ke memiawku.. aku juga ingin merasakan pejumu membajiri memiawku.. aku kangen, udah lama nggak ada yang membanjiri memiawku dengan peju..” balas Henny dengan nada manja dan sedikit genit.
“Aach.. Hen, aku mau keluar nich Hen.. ach.. achh..” aku lemas lunglai tak berdaya di atas tubuh Henny yang sexy itu.
“Makasih ya Ryan..” Kamipun tertidur dan aku terkejut ketika terbangun sudah pukul 04:00, untung saja tidak ada yang memergoki perbuatan kami. Setelah merapikan diri, kamipun kembali di kursi masing-masing dan kami berjanji akan bertemu kembali di kota, kebetulan kami satu kota. Sampai saat ini kamipun masih sering berhubungan dengan komitmen kebebasan yang menghargai serta menjunjung seks yang sehat.
Read Full 0 komentar

CInta Tak Pernah Salah (6)

“Apa Benny harus kupecat?”

Sorot mata tajam yang menggiris itu membuatku membatu dalam posisi setengah berdiri. Apa aku berhak menghakimi nasib Pak Benny? Demi apa? Keadilan atau balas dendam?

Deretan foto keluarga yang berderet rapi di meja sang HRD Director melintas di ingatanku. Anaknya empat dan yang terkecil masih di bangku SD.

Buat orang selevel dia, mencari pekerjaan baru bukan hal yang sulit, May. Lagipula memang dia yang salah kan? Kalau bukan karena idenya yang tolol, kamu nggak bakalan terdampar di apartemen brondong sialan itu dan dilabrak ibunya yang reseh.

Ya, tapi ini nggak adil. Kalau mau mencari kambing hitam kenapa bukan Dina saja. Dia kan sudah jelas-jelas merusak rumahku sehingga membuatku hampir gila dan menyebabkan Pak Benny salah mengambil keputusan.

Kalau begitu kamu masih nggak adil juga. Apa biang keladi semua kekacauan ini Dina?


Aku menggeleng sembari meneruskan berdiri.

“Semuanya salah saya, tapi saya karena sudah dipecat jadi Bapak nggak perlu lagi menimpakan kesalahan pada orang lain apalagi karyawan seloyal Pak Benny.”

“Kalau kamu yang bertanggungjawab kenapa dari tadi nggak juga minta maaf?” tukasnya ketus.

Dia pasti masih kesal dengan serbuan mendadak dari mantan babysitter Dina tadi. Tadinya kupikir ibunya Yuda adalah seorang perempuan lugu yang terbutakan cinta memabukkan dari sang majikan. Ternyata dia tak ada bedanya dari ibu-ibu menor bawel dalam sinetron yang senang mencaci dengan lantang disertai gaya dramatis. Haduh, lidahku sudah gatal ingin membalas makiannya, tapi sikap dingin sang empunya ruangan membuatku bertahan dalam diam. Ternyata perempuan itu malu sendiri setelah tidak mendapat reaksi yang diinginkan. Dia pergi begitu saja dengan tergesa, meninggalkanku sendirian di sarang naga. Aku duduk diam di hadapan sang naga seperti anak sekolah yang menunggu hukuman dari kepala sekolah. Akhirnya kuputuskan untuk pamit daripada terus membuang waktu. Dan kini kekesalan sang naga membuat tawa getir keluar dari mulutku tanpa bisa kutahan.

“Kerugian yang Bapak terima nggak sebanding dengan penderitaan yang saya alami. Sudah jadi pengangguran karena dipecat dan harus mendadak jadi gelandangan setelah rumah saya dirusak putri Bapak, masih juga diperkosa sama anak Bapak yang lain. Seharusnya saya minta ganti rugi sama Bapak.”

Alis tebalnya terangkat seketika dan wajahnya berubah menjadi merah. Well, dia marah besar. Ah, sudahlah, paling dimaki lagi dan setelahnya aku bebas.

“Jadi kamu memosisikan diri sebagai korban?”

“Apa ada pihak lain yang menderita kerugian lebih dari saya? Bapak cuma kehilangan satu pegawai dan sudah mendapat penggantinya. Ibu Yuda hanya kehilangan beberapa jam dari waktunya yang berharga, tapi dia sudah puas mempermalukan saya. Yuda boleh dibilang nggak kehilangan apa-apa, oh, paling meeting dengan Bank Mandiri kemarin, tapi saya yakin itu sudah di-reschedule. Sementara Dina… dia tetap memiliki Rio.”

Suaraku tercekat ketika menyebut nama belahan jiwa yang terenggut dari hatiku. Kuhela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan luapan emosi jiwaku.

“Saya nggak mau mencari simpati apalagi minta dikasihani karena saya tahu Bapak nggak akan mengerti bagaimana rasanya kehilangan milik yang berharga, yang didapat dari nol, dari kerja keras selama bertahun-tahun. Memang, semuanya hilang karena kesalahan saya sendiri jadi jangan pernah berharap saya meminta maaf pada Bapak. Karena kalau saya minta maaf berarti Bapak juga harus minta maaf sama saya dan saya yakin itu mustahil terjadi,” tukasku berapi-api.

Rona wajahnya kini makin gelap dan sorot matanya membuatnya seperti ingin menelanku saja. Mulutnya baru saja membuka saat Vina, sekretarisnya yang berambut ala Dora The Explorer itu mendadak mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu sahutan kemudian memberi laporan dengan takut-takut.

Aku jadi ketularan takut begitu mendengar keributan antara Rio dan Yuda. Brondong sialan itu menuduh kakak iparnya sudah mengadukannya pada mamanya tentang kehadiranku di apartemennya. Ya ampun, bocah itu… tapi apa mungkin Rio tega melakukannya karena dulu Yuda sudah mengadukan kami pada Dina?

Tanpa bicara Pak Deddy meninggalkan ruangan setelah menyempatkan diri memelototiku. Tanpa pikir panjang kumanfaatkan kesempatan ini untuk menyelinap pergi. Aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah konyol.

Duh, rasanya aku seperti penderita kusta, semua orang yang kujumpai menjauh dan berbisik-bisik di belakangku. Aku menahan diri untuk tidak berlari dan berjalan secepat yang kubisa. Rasa lega mulai menyongsong ketika aku berhasil meninggalkan gedung kantor dengan selamat. Aku baru saja mulai berlari ketika sesuatu menghantam tubuhku dengan keras, membuatku terpental jatuh dalam kegelapan.

* * *


“Mimpi buruk lagi?”

Saking kagetnya, aku sampai terlonjak dan kepalaku membentur headboard dengan mantap. Ya ampun! Sejak kapan lelaki jangkung ini duduk di pinggir ranjangku? Kamarku juga mendadak terang-benderang. Tunggu dulu, ini kan bukan ranjangku juga bukan kamarku, tapi ranjangnya, kamarnya. Maksudku, dia tidur di ranjang kamar sebelah, tapi ini apartemennya.

“Maaf, saya nggak bermaksud mengganggumu lagi eh, maksud saya Bapak,” ujarku gugup. “Besok eh pagi-pagi nanti saya pulang.”

“Memangnya kamu mau pulang ke mana? Ke rumahmu yang tinggal puing itu? Sementara ini tinggal di sini saja, lebih aman,” titahnya tegas.

“Lebih aman buat siapa?” tanyaku polos. “Bapak sudah membuat blunder dengan menyembunyikan saya di sini. Semua orang malah jadi curiga kalau mobil yang menabrak saya tadi pasti ada kaitannya dengan Dina. Jangan-jangan dia sendiri yang mengendarainya. Kalau nggak, kenapa Bapak harus repot-repot mengurusi dan menyembunyikan saya di sini sampai Bapak nggak pulang ke rumah sendiri. Bapak nggak usah khawatir, saya nggak akan bciara ke polisi atau wartawan. Saya juga paling malas berurusan dengan me …”

“Kenapa lidahmu jadi tajam sejak kupecat?”

Tangannya mendadak terulur ke arah kepalaku. Kontan aku beringsut menjauh. Apa dia akan mencekikku atau mencabut lidahku supaya tidak merecoki tidurnya lagi?

“Ah, ternyata kamu nggak seberani yang kukira.”

Dia terus mendekat hingga aku terpojok di sudut ranjang. Tak ada ruang untuk melarikan diri. Pipiku sudah menempel pada tembok kamar yang dingin. Kupejamkan mata erat-erat, menunggu detik demi detik yang berlalu begitu lambat dengan tubuh gemetar ketakutan. Rasanya seperti sedang mimpi buruk lagi.

Tangan itu ternyata mendarat di kepalaku dan menariknya paksa dari tembok. Kurasakan jari-jemarinya meraba benjolan baru di belakang kepalaku.

“Mual lagi?”

Aku menggeleng pelan tanpa membuka mata. Aku terlalu malu untuk menatap matanya karena sempat dua kali muntah dalam mobil BMW seri 7 miliknya saat dibawa ke rumah sakit. Kata dokter aku kena gegar otak ringan setelah kepalaku terbentur aspal dengan keras.

“Maaf, Pak, aku benar-be…”

“Aneh, dari tadi minta maaf terus padahal tadi bilang nggak mau minta maaf.”

Aku berjengit ketika dahiku yang berpeluh dingin disentuhnya. Tubuhku merinding ketika tangannya meraba wajahku. Eh?! Sesuatu yang lembut menempel di bibirku. Kubuka mata dan kulihat kepalanya membuat gerhana karena sudah menutupi cahaya lampu kamar. Kemudian baru kusadari gerakan yang membasahi area sekitar bibirku.

Dia menciummu?? Busyet!! Mantan bos yang juga mertua Rio sekaligus ayah brondong bajingan itu menciummu???

Iya!! Mana ciumannya lembut banget. Rio saja belum pernah menciumku selembut ini.

Ini gila, May!

Ember!


Kepalaku tidak bisa bergerak karena dipegangi kedua tangannya dengan erat. Aku masih terbengong ketika ciuman itu usai. Gilanya, sepasang mata itu tetap menatapku tajam seperti biasanya. Jangan-jangan yang tadi itu cuma halusinasi… waduh! Dia menciumku lagi!!

Damn! Walau ciuman kedua tidak selembut yang pertama, tapi benar-benar membuatku terbuai. Dan saat dia melepaskanku, aku masih merasa di awang-awang. Aku bahkan tidak sadar apakah sempat kupejamkan mata untuk menikmati apalagi membalas ciumannya.

“Otakmu baik-baik saja.”

“Hah?”

“Kamu lupa kalau aku pernah kuliah kedokteran? Respon matamu bagus. Juga yang lainnya.”

“Bukannya memeriksa mata harus pakai senter? Dan yang lainnya itu apa?”

Tanpa menjawab dia menciumku lagi, tapi kali ini aku meronta.

“Bapak salah. Kalau otakku beres, seharusnya sejak tadi aku menolak,” bantahku sambil mendorongnya menjauh.

“Kenapa? Karena ciumanku sudah membuatmu lupa sama orang yang nggak akan bisa kamu miliki?”

Kata-kata ketusnya menusuk hatiku persis di luka yang menganga. Perih.

“Jangan mau terus seperti anjing.”

Astaga! Barusan dia bilang apa? Aku disamakan dengan anjing??

“Aku paling benci melihat perempuan yang seperti anjing. Biarpun tuannya sudah bosan sampai menendangnya pergi, dia masih juga tetap setia menunggu sampai mati. Entah memang bodoh atau sengaja membohongi dirinya sendiri dengan harapan tuannya akan berubah.”

“Lalu apa aku harus menjadi kucing? Mau dibelai oleh siapa saja yang sudah memberiku makan?” sahutku kesal.

“Kalau memang harus begitu, kenapa tidak? Toh nggak ada ruginya buat kamu. Dan kamu,” telunjuknya menuding hingga menyentuh jidatku, “terlalu pintar untuk jadi anjing.”

Bbirku dilumatnya lagi.

Tadinya aku ingin berontak lagi dan mengeluarkan protes soal anjing-kucing itu. Namun usapan tangannya di wajah dan tubuhku terasa hangat, membuatku tenang bahkan menginginkan yang lebih dari itu. Jadi kubiarkan tangannya menyibakkan kaus oblong kedodoran miliknya yang membalut tubuhku.

Ya, aku butuh orgasme agar bisa terlelap. Masalahnya aku belum mandi sejak kemarin malam. Keringat Yuda bahkan masih menempel di tubuhku dan… Oh my God! Sisa spermanya masih mengendap dalam liang kemaluanku dan aku masih memakai celana dalamnya! Shit! Gara-gara diburu-buru ibunya, aku jadi lupa mengganti celana dalam pinjamannya dengan celana dalamku.

“Aaah….aku… aku nggak bisa,” ujarku setengah terengah.

“Kenapa?” sahut Pak Deddy tak acuh sambil terus mengemut puting payudaraku sementara jari-jemarinya menggosok-gosok klentit yang masih terbungkus celana dalam anaknya.

“Karena… karena badanku kotor… lengket. Seharian aku belum mandi.”

“Ya sudah, mandi saja.”

Pasti ada yang salah dengan otakku. Bagaimana bisa aku memperumit hidup dengan masalah yang semestinya bisa kuhindari. Menjadi simpanan gelap lelaki beristri saja sudah tidak benar, ditambah lagi ngeseks dengan adik iparnya dan sekarang main gila dengan ayah mertuanya.

Untungnya dia duda. Kalau mamanya Dina masih hidup, bisa-bisa kamu bukan cuma ditabrak mobil, tapi dilindas tank.

Lucu. Benar-benar lucu.


Tadinya kupikir niatnya surut begitu melihat celana dalam lelaki yang dilepaskannya dari selangkanganku, ternyata tidak. Penisnya malah semakin mengacung setelah melihat tubuh bugilku yang dihiasi luka lecet dan memar di sana-sini.

Dia memandikanku, menyabuni dan membilas seluruh bagian tubuhku. Usapan dan remasan pada payudara dan selangkanganku membuat rasa malu yang sempat kurasakan lama-lama menjadi sirna tergantikan libido yang tak bisa kutahan lagi. Tanganku ikut bergerilya, membelai kejantanan yang berkedut mengeras dan dua kantung yang menggantung di bawahnya. Kami saling menggesekkan tubuh, mendesah di antara ciuman di bawah shower air hangat.

Aku menurut dengan pasrah saat dia memepetku ke dinding. Baru kali ini aku digarap dalam posisi berdiri. Dia langsung jongkok di depan selangkanganku. Diangkatnya kaki kiriku dan dijilatinya kemaluanku yang wangi sabun dengan lapar.

Tubuhku hampir rubuh karena satu kakiku tidak mampu menahan geliat liarku. Kedua tanganku menggapai-gapai ke sana-kemari mencari pegangan. Gelinjang tubuhku semakin tak terkendali setelah dua jarinya menyelusup masuk liang kelaminku, menggaruk-garuk dan menekan-nekan di dalam sana.

“Ohh…. Aaahh…. Mmmhh… Iyaaaaahh!!”

Aku menjerit dengan kepala terdongak. Suaraku bergema lantang dan mungkin saja menembus dinding apartemen tetangganya. Dia berdiri, sorot matanya tampak puas. Diangkatnya pinggangku hingga aku melayang dengan kaki mekangkang. Tanpa disuruh, kedua tanganku sudah memeluk lehernya dan kedua kakiku melibat pinggangnya dengan erat.

“Ggghhh…”

Sodokan pertamanya begitu kuat. Dalam sekali tumbuk, penisnya sudah melesak masuk hingga menumbuk bibir rahimku. Tubuhku tersentak dan kepalaku terdongak lagi hingga belakang kepalaku lagi-lagi menghantam dinding.

“Nggak apa-apa. Benar kok,” ujarku dengan nada superyakin ketika dia menghentikan gerakan berikutnya demi memeriksa belakang kepalaku yang makin benjol dan senut-senut.

Dengan gerakan perlahan, tapi mantap dia menyodokku lagi hingga mentok. Mulutku yang terbuka menyuarakan lenguhan langsung dijejali dengan lidahnya yang langsung kukenyot. Kukecap gurihnya cairan vaginaku sendiri sebelum daging basah berotot elastis itu meninggalkan mulutku dan menelusuri belakang telinga. Leherku menjadi sasaran jilatan dan pagutan berikutnya.

Kedua tangannya meremas-remas bongkahan pantatku dengan gemas. Sesekali dia memutar pinggulnya membuat tikaman penisnya menggesek seluruh dinding liang vaginaku tanpa ada yang terlewat. Aku tidak mau kalah. Setiap kali batang keras itu menyodok, kulancarkan serangan balasan lewat pijatan-pijatan ritmis oleh otot-otot liang vaginaku yang membuat kedua kelamin kami makin berdenyut keras.

Kutekan kedua pantatnya dengan tumit kakiku dan akibatnya tubuhnya menggencet habis tubuhku ke dinding hingga dadaku terasa sesak. Pada saat yang sama kedua tangannya melepaskan pantatku dan menyelip masuk di antara kedua dada kami. Aku mengerang tertahan ketika jari-jarinya menekan-nekan dan memelintir putingku.

Lolongan keras kembali kusuarakan begitu klimaks kedua kuraih. Kemudian dia membawaku pindah ke kamar tidur tanpa melepaskan pertautan kedua kelamin kami.

“Nanti seprainya basah.”

“Biarin,” sahutnya sambil duduk di pinggir ranjang memangkuku.

Kedua tangannya memegangi pinggang rampingku, menaikkan dan menurunkan tubuhku hingga aku tidak banyak bergerak. Kedua buah dadaku menjadi sasaran empuk mulutnya. Tiap kali aku mendesis karena gigitan pada putingku, liang kemaluanku mengejan, membuatnya makin gemas melahap benjolan di dadaku.

Aku makin panas dan ingin meraih klimaks berikut dengan caraku sendiri. Kujauhkan tubuhku membuat kepalanya maju karena bibirnya mengejar putingku. Tadinya dia tidak mengerti dan malah menarik tubuhku karena takut aku akan terjatuh.

“Trust me,” bisikku sembari memberi tatapan penuh birahi.

Akhirnya dia membiarkanku membaringkan diri di pahanya. Setelah berpegangan pada betisnya, aku mulai menggoyang pinggulku ke segala arah, naik-turun, ke kiri dan ke kanan juga memutar. Rambutku terurai menyapu lantai. Dia membuatku makin gila dengan gosokan dan garukan jarinya pada klentitku. Dadaku yang membusung karena punggungku melengkung, langsung diterkam dengan mulutnya.

“Don’t stop… please… don’t stop… terus… sedi…kit…la…gi…,” pintaku tersengal saat kurasakan klimaks yang kutunggu hampir tiba.

Sang naga semakin gencar menyerangku dengan mulut dan jari-jemarinya dan akhirnya yang kutunggu meledak juga. Aku melolong keras sembari menggelinjang kuat. Kurasakan selangkanganku makin kuyup dan tiba-tiba dia mencabut kelaminnya. Semburan cairan kental hangat membasahi dada dan perutku.

Dia merengkuh tubuhku yang terkulai lemas dan menghadiahi french kiss paling memabukkan yang pernah kurasakan. Tubuhku seringan bulu, dan terbawa angin melayang ke awan melintasi langit biru.

“Bilas dulu baru tidur.”

Aku menggeleng.

“Nanti mimpi buruk keburu datang,” gumamku tanpa membuka mata.

Dan aku pun terbang bersama burung-burung di angkasa…

* * *


“Besok aku mau pulang, Pak. Bukan ke rumahku sih, aku mau cari kos, tapi tetap saja aku ingin menengok rumahku.”

Dia diam saja.

“Aku juga mau cari kerja dan sudah membuat beberapa lamaran kerja. Mmm… kira-kira Bapak mau nggak ya menandatangani surat rekomendasi kerja untukku. Aku tahu, seharusnya aku nggak dapat karena aku dipecat, tapi aku butuh surat itu.”

Aku menyerocos tentang rencana masa depanku, tapi tetap saja tidak ada reaksi darinya. Pandangan matanya tetap lekat pada koran hari Minggu yang dibacanya sementara tangan kanannya terus mengusap-usap kepalaku. Lama-lama aku kesal juga. Aku berdiri, hingga koran terlepas dari tangan kirinya, tapi dengan sigap tangannya melingkar di pundakku dan menarikku kembali duduk di pangkuannya.

“Pak, dengar apa yang kuomongkan, nggak sih?”

Tak ada reaksi.

Kuhela napas panjang. Sejak kami tidur bersama, dia tidak lagi mau dipanggil dengan sebutan Bapak. Mana bisa aku memanggilnya hanya dengan sebutan namanya saja? Jadi kupanggil dia dengan sebutan yang mirip dengan namanya.

“Daddy.”

Dia kan hampir seumur papaku yang lenyap tanpa bekas itu.

“Ya.”

Tuh, dia mau menyahut kan?

“Apa ada begitu banyak kutu di rambutku sehingga dari tadi kamu terus memegang-megang kepalaku?”

“Kucing paling suka kalau kepalanya dibelai-belai. Betul begitu kan, Kitty?”

Kitty…. Sejak kapan aku setuju menjadi kucingnya? Sejak dia berjanji di atas surat bermeterai di hadapan notaris bahwa dia akan mengganti rugi atas kerusakan rumahku beserta isinya? Atau sejak dia membiayai perawatanku hingga sembuh total? Atau sejak dia memakai fasilitas prioritas miliknya untuk menyelesaikan segala urusanku dengan pihak bank dan polisi? Atau sejak dia membelikanku banyak pakaian mulai dari gaun cocktail hingga lingerie supersexy yang selalu dirobeknya bila kami sedang hot-hotnya bergulat di atas ranjang?

“Sudah hampir sebulan aku menganggur begini. Bisa-bisa otakku karatan.”

“Kalau begitu kerja denganku saja,” sahutnya sambil mengendusi leherku.

“Balik ke Banyu Biru lagi? Yang benar saja.”

Apa kata seisi kantor kalau mereka tahu aku jadi kucing sang naga? Waduh. Mendadak terpikir olehku, e-mail Dina yang menjelek-jelekkan diriku sudah melanglang buana hingga ke mana saja, ya? Apa yang akan terjadi kalau lingkungan kantor yang kukirimi lamaran kerja sudah tahu borokku?

“Jadi personal assistant-ku saja.”

Tangannya merambah payudaraku yang masih terbungkus tanktop ketat. Mengusap-usap dengan gerakan memutar sambil sesekali menekan putingku yang makin mencuat.

“Nggak mau. Buat apa dulu susah-susah kuliah kalau cuma jadi kucing.”

Tubuhku menggeliat menahan rasa geli bercampur terangsang.

“Siapa bilang personal assistant itu sama dengan kucing? Aku memang butuh seseorang yang mengatur jadwal kesibukanku. Vina kan hanya mengatur urusan kantor padahal di luar jam kantor, acaraku banyak. Ada wawancara, seminar, undangan ini-itu, aku juga butuh seseorang untuk meringkaskan berita-berita penting di koran dan majalah. Aku nggak punya waktu untuk membaca semuanya… Hmm… aku suka bau badanmu…”

“Aku serius, Dad,” tukasku sambil menjauhkan tangannya. “Bukannya kamu sengaja menjauhkanku dari anak-anak dan menantumu dengan menyembunyikanku di sini? Kalau aku jadi sekretaris pribadimu itu sama saja dengan memberi kesempatan kami bertemu lagi.”

“Ya ampun. Apa masih kepingin jadi anjing lagi?”

Kuhela napas panjang lagi sambil menunduk memandangi lengan kokohnya yang kembali melibat tubuhku. Aku kangen pada Rio, kangen setengah mati. Aku bahkan belum pernah menghubunginya sejak musibah tabrak lari itu karena ponselku hilang dan aku tidak juga berani meneleponnya dengan ponsel baru. Aku tidak mau membahayakan posisi orang yang kucintai itu. Dia pasti bingung karena tidak mendapat kabar apa-apa dariku. Aku jadi penasaran, apa yang Pak Deddy bilang pada mereka tentang diriku?

Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benakku serta-merta bubar berantakan ketika bibirku diciumnya. Ciumannya selalu membius, seakan waktu membeku dan kesadaran menyingkir sejenak dariku.

“Kamu adalah kucing terbaikku,” bisiknya sembari memelorotkan tali tanktop yang kupakai. “Paling pintar, paling mungil, tapi juga paling horny.”

Bibir dan lidahnya menyapu tengkukku sementara jari-jemarinya memilin putingku yang telanjang.

“Kamu juga makhluk langka. Mungkin cuma kamu kucing dextrocardia yang pernah kukenal seumur hidupku.”

Ditempelkannya telinganya di dada kananku seperti ingin mendengarkan detak jantungku yang berderap kencang dengan seksama sambil mengemut puting payudara kiriku. Sudah jelas brondong sialan itu memang putra sang naga. Bukan hanya keduanya punya hobi yang sama, menggumuli perempuan di atas ranjang, tapi bisa-bisanya mereka menganggap posisi jantungku yang abnormal sebagai sebuah keistimewaan. Tiba-tiba aku merasa sedih. Ini bukan hidup yang kuinginkan. Aku nggak cocok jadi kucing dan kucing macam apa aku ini…

Tapi penyesalan tak bertahan lama karena akal sehatku terbuai oleh serangan lidah dan bibirnya yang menyerang kedua buah dadaku bergantian. Tak lama kemudian tangannya menjelajah turun ke selangkanganku mengelus-elus paha dalamku, jari-jarinya yang jahil sesekali menyelinap masuk celana dalamku, menyenggol-nyenggol klentitku kadang menyusup masuk ke dalam liang kemaluanku.

“Besok kamu mulai kerja. Gajimu kusamakan seperti dulu.”

Aku langsung menggeleng. Rupanya akal sehatku masih bercokol di kepalaku namun saat kucoba menolak, hanya desahan dan erangan yang keluar dari mulutku.

Dia menggeser tubuhku, membaringkanku di atas ranjang dengan kepalaku di atas pangkuannya. Tangan kanannya masih terus mengobok-obok kemaluanku.

“Kitty.”

Aku menoleh dan tanpa disuruh langsung menyambut batang kemaluan yang disodorkannya dengan mulutku. Gilanya, dia masih bisa juga menyambi dengan kembali membaca koran. Kurang ajar! Akan kubuat dia menyerah. Kuhisap kelamin yang mengeras itu sampai pipiku mengempot. Ujung lidahku menyusuri belahan kepala penisnya yang mirip jamur dan menekannya kuat-kuat sehingga koran yang dipegangnya bergetar.

Lama-lama konsentrasinya pecah juga apalagi ketika kugesek-gesek kepala penisnya dengan langit-langit mulutku sementara tanganku terus mengurut-urut batang kerasnya. Dilepaskannya koran dengan gerakan buru-buru lalu dipeganginya dengan erat kepalaku dan menyanggama mulutku dengan penuh semangat. Aku kewalahan juga dengan serangannya. Tidak mudah mengatur napas di tengah sepongan dan luberan liur dalam mulutku apalagi gosokan pada klitorisku tidak mengendur malah menggila.

Goyangan pinggulnya yang maju-mundur makin cepat dan akhirnya berhenti bersamaan dengan muntahan spermanya yang memenuhi rongga mulutku. Kuteguk cairan kental itu sambil memandangi wajahnya yang menengadah dengan penuh kepuasan.

“Nanti kita belanja baju kerja untukmu,” tukasnya sambil menarikku bangun dan menyuruhku berbaring di tengah ranjang.

“Nggak usah. Aku nggak mau jadi pe… pers…ph… hhhh… shhh… uuhh…”

Jilatan pada klentitku yang memerah berhasil membungkam protesku. Desis penuh kenikmatan terus keluar dari mulutku. Aku menjerit kecil ketika benjolan kecilku itu dihisapnya dengan gemas. Kedua tangannya memegangi paha dalamku sehingga aku tidak bisa menggelinjang bebas. Tiap kali kusempatkan melihat aktivitas di bawah perutku, kulihat sepasang mata sang naga sedang menatapku dengan tajam.

“Oooh… nghhh…. Dooon’t… stooop…”

Lho?! Kok dia malah menjauh dari kelaminku? Kepalanya bergerak naik, lidahnya menjilati pusarku seakan klitorisku pindah ke sana.

Sialan! Aku paling tidak bisa menahan nafsu yang sudah hampir meledak begini. Kugoyangkan pinggulku agar selangkanganku menggesek tubuhnya, tapi dia malah menekan pinggulku ke ranjang. Tanganku yang menyelonong ke bawah ditepisnya. Dan ketika kudorong tubuhnya kebawah dia bergeming.

“Dad… plesase… aku nggak tahan…. Aku kepingin…,” keluhku memelas.

“Tadi bilang nggak mau.”

Damn! Dia tahu posisiku paling lemah bila libidoku sedang merajalela. Aku berusaha menawar, tapi sia-sia. Penisnya yang mengeras malah digesek-gesekkan ke betisku, membuatku mulut bawahku makin ngiler.

“Oke… aku menyerah…”

“Aku nggak suka kalau kamu terpaksa.”

“Daddy, aku…Auw… pelan-pel…aaa….aaahh…”

Geliat tubuhku makin tak terkendali setelah dia kembali mencaplok klentitku yang merana. Diangkatnya kedua kakiku hingga wilayah kelaminku terlihat jelas. Kemudian jari-jarinya mengobok-obok liang vaginaku. Mulanya satu, lalu dua dan akhirnya tiga. Eranganku bersaing dengan bunyi kecipak dari kemaluanku.

Lalu di saat klimaks itu mendekat lagi-lagi dia berhenti, membuatku kembali mengemis dan menyerah pada kemauannya.

“Kamu yakin mau bekerja denganku?”

Aku mengangguk sambil menatapnya sendu. Lha, kok dia malah turun dari ranjang. Eh, buat apa dasi itu?

“Dad, kenapa tanganku diikat?”

Dia tidak menjawab dan terus mengikat kedua tanganku terikat erat ke tiang tengah headboard ranjang. Permintaanku agar ikatan di pergelangan tanganku dilepas tak diacuhkannya. Sebenarnya diikat begini membuatku takut. Ingatan pada bagaimana Opa dulu sering mengikat dan menghukumku dulu kembali menyambangiku. Membuatku meronta dan berusaha melepaskan ikatan di pergelangan tanganku.

Ternyata kepanikanku membuat Pak Deddy makin bernafsu. Dijilatinya hampir seluruh bagian tubuhku, dari kepala hingga betis. Setelah puas memandikanku dengan gaya kucing, dia menatap selangkanganku yang terbuka lebar dengan tatapan lapar. Dia tidak langsung menancapkan kelaminnya yang keras ke liang kelaminku, tapi menggosoknya perlahan dengan kedua jempolnya membuatku melenguh tak sabar.

“Aku memang bukan bos yang baik.”

Apa maksudnya sih?

“Mungkin karena takut digalaki, kamu jadi menolak.”

Astaga! Masih jual mahal juga dia.

“Nggak kok, aku sudah biasa. Aku mau…”

“Apa tawaran gajimu masih kurang besar, ya?” tanyanya pura-pura bloon sambil membuat gerakan melingkar di klentitku.

“Nggak… su… sudah cu…kup… “

“Lalu kenapa kamu masih ragu?”

Sekarang jarinya sudah masuk ke dalam lubang kelaminku dan menekan-nekan dinding lembut di balik kandung kemihku.

“A…aaah… aku… ma…u… ja… di per…so…oooh… shit! Eh, jangan berhenti. Dad, please. Aku mau jadi personal assistant-mu.”

“Yakin?”

Aku mengangguk getol. Dia tersenyum puas. Ditariknya jarinya yang nakal kemudian dihunjamkannya penisnya yang keras itu ke kemaluanku. Kulingkarkan kakiku ke panggulnya untuk mencegah dia kabur lagi. Dia benar-benar terangsang melihatku setengah tak berdaya. Anehnya, aku menikmati didominasi olehnya dan klimaks yang tertunda sejak tadi kuraih juga dalam jangka waktu singkat.

Dia merubah posisi, menggulingkan tubuhku ke samping dan memasuki liang basahku dari belakang. Disuruhnya aku mengangkat sebelah kakiku yang tidak tertindih tubuhku agar tangannya lebih bebas bermanuver di selangkanganku. Klitorisku yang membengkak kembali menjadi sasarannya.

Mulutku makin sering menyuarakan desahan sesering mulut bawahku mengejan. Deru napasnya yang memburu terdengar jelas di telingaku. Sesekali tangannya menjelajah, memeras payudara, pinggang dan pantatku sebelum akhirnya kembali menekan-nekan dan menggaruk-garuk klentitku.

Kami berbarengan menyerukan klimaks, dengan nada berbeda. Aku dengan penuh kelegaan sementara dia dengan nada kaget. Rupanya dia terlambat mencabut penisnya karena dan cairan putih kental itu membanjiri bibir bawahku hingga mengalir ke seprai, membasahi kasur biolatexnya yang seharga puluhan juta.

“Sudah, nggak usah panik. Hari ini bukan masa suburku kok.”

Dia membalikkan tubuhku lalu menciumku lama sekali sampai-sampai aku tidak sadar kalau ikatan tanganku sudah dilepaskannya.

* * *


“Aku mau cari tempat tinggal baru.”

“Kenapa lagi? Apa paviliun rumahku ini masih kurang bagus? Sudah cukup asin?”

“Justru itu. Aku nggak mau tinggal di sini. Apa kata seisi rumah kalau kamu lebih sering tidur di sini daripada di kamarmu sendiri. Nanti mereka mengadu ke anak-anakmu. Mmm… kurang merica sedikit, Dad.”

“Mereka nggak akan berani bilang apa-apa. Maksudmu cuma anak-anak atau menantu juga ikut?” tukasnya dingin sambil mengaduk scramble egg dengan cekatan.

Apa dia cemburu pada Rio, ya? Aku tetap ngotot minta pindah dan disahutnya dengan membanting wajan penggorengan ke atas kompor, membuat isinya berhamburan ke mana-mana. Hebatnya dia sempat mematikan kompor lebih dulu. Yang tidak hebat, lagi-lagi dengan mudah aku diringkus dan dibius ciumannya yang memabukkan.

“Oh, shit!!”

Apa aku sedang mimpi, ya. Sepertinya aku mendengar suara brondong sialan itu.

Sepertinya memang suaranya deh.


Sukmaku yang sedang melayang-layang seakan diberi pemberat…

“Apa-apaan ini!! Papa, apa kamu sudah gila??”

Itu suara Dina kan?

Nggak salah lagi…


dan terjun bebas ke bumi….

“Yakuza?”

… menghantam gunung karang dan hancur berantakan.

“Oh, kalian sudah datang rupanya,” ujar sang naga dengan santai sambil menarik tubuhku yang setengah berbaring di atas meja makan.

Aku berdiri bersembunyi di belakang majikanku yang sayangnya malah menarikku berdiri di sebelahnya. Dan di hadapan kami berdiri 3 orang yang menatap kami dengan mata terbelalak.
Read Full 0 komentar

Cinta Tak Pernah Salah (5)

Tak mudah mempertahankan topeng di wajahku. Selain menipis dan makin meriah dengan hiasan retakan di sana-sini, ujungnya pun gumpil. Seharusnya sejak dulu aku menambalnya, tapi kini sudah terlambat. Aku tidak tahu berapa lama lagi topengku mampu bertahan membentengi gelombang emosi yang terus menerjang liar dari dalam hatiku.

Namun ternyata melepas topeng reot itu jauh lebih sulit. Saking begitu terbiasa berlindung di baliknya, aku tak rela melepaskannya. Tanpanya aku seperti mangsa empuk bagi para penghujatku yang mirip kawanan burung pemakan bangkai. Mereka terus mengerumuni dan menyerangku dengan membabi-buta. Tapi mereka tidak akan pernah melihatku jatuh terpuruk. Sampai kapan pun aku tetap mampu menegakkan kepalaku dengan tenang dan terhormat.

Terhormat? Ya ampun, apa kamu buta, May? Apa kamu tidak melihat wall facebook-mu yang penuh dengan caci maki? Pura-pura tidak melihat e-mail yang secara ‘tidak sengaja’ mendarat di inbox e-mail kantormu yang isinya membuatmu tidak jauh beda dari babysitter penyiksa anak majikan atau maling yang menyamar sebagai pembantu? Berkat internet, fotocopy KTP-mu sudah beredar ke seluruh penjuru negeri bahkan mungkin sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia lengkap dengan testimoni penuh kemarahan mengenai kelakuanmu yang ingin merebut suami dari pelukan seorang istri yang sedang hamil muda. Belum lagi kasak-kusuk seisi kantor kalau kamu adalah perempuan gatal yang main gila dengan kakak sekaligus adik ipar pada saat yang sama.

Ya, ya, kamu nggak perlu mengingatkanku. Memang aku sendiri yang mengancurkan reputasiku. Puas?

Bukan soal puas atau nggak, bagaimana pun aku bagian dari dirimu. Kamu pikir aku suka melihatmu jatuh? Tapi aku lebih takut melihatmu seperti zombie. Bagaimana kamu bisa tetap diam melihat semua kekacauan ini?

Jadi kamu ingin aku terus menangisi kepergian Rio? Kamu ingin aku memaksanya memilih antara diriku atau istrinya yang sedang hamil itu?Dia kan juga terpojok.

Bukan soal itu, bodoh! Heran, kamu masih juga bisa membelanya. Pikirkan dirimu sendiri dong. Bagaimana dengan rumahmu yang sudah hancur itu??

Nggak usah diingatkan, aku juga masih bisa mengingat dengan jelas rupa rumah yang kubeli dari hasil jerih payahku sendiri. Pagarnya penyok, semua kaca jendela pecah, pintu depan lepas dari engselnya dan lantai dua hangus tak tersisa. Semua barang elektronik dan piring mangkok pecah berantakan setelah dilempar begitu saja ke tengah jalan. Kamu pikir aku nggak sedih? Sedih setengah mati, tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi. Percuma menangis dan marah, toh tidak akan memperbaiki keadaan. Lagipula tadi Pak Benny terus di sampingku.

Apa urusannya sama dia? Bukannya dia baik, sudah mau mengantarmu pulang dan membantumu membereskan urusan dengan polisi, pemadam kebakaran dan warga sekitar?

Ah, dia kan hanya pura-pura baik. Bisa jadi karena terpaksa. Kalau nggak gara-gara telepon dari Atik masuk pada saat aku sedang berada di ruangannya mungkin dia nggak akan ikut repot begini. Bullshit! Buat apa exit interview itu kalau aku dipecat dengan tidak hormat. Dia pasti salah satu dari mereka yang menunggu saat-saat aku jatuh. Buktinya dia memanggil brondong sialan itu.

Kamu terlalu paranoid, tapi benar juga, bisa jadi HRD director itu terpaksa ikut campur dan memanggil brondong sialan itu karena pembantumu menyebut-nyebut nama Rio dengan histeris di depan polisi. Dia pasti ingin melindungi keluarga majikannya yang brengsek. Tapi bagaimana dengan dirimu? Kamu sudah nggak punya apa-apa lagi, May. Sudah kehilangan Rio, dipermalukan di depan umum, dipecat, rumah hancur, boleh dibilang hartamu tinggal yang menempel di badanmu. Wajar kalau kamu menangis dan kamu memang harus menangis. Sudah terlalu lama kamu memendam kesedihan. Kalau kamu terus diam membatu begini lama-lama bisa gila.

Tapi aku nggak bisa membiarkan semua orang apalagi brondong sialan itu tahu kalau aku lemah…

Kalau begitu kenapa kamu menurut saja waktu dibawa ke apartemennya?

Karena aku nggak tahu harus ke mana lagi. Keluargaku cuma Rio, temanku juga cuma dia. Kalau saja dia datang... Biasanya dia datang menghibur dan mengurusiku di saat aku tertimpa musibah. Apa dia nggak tahu kalau istrinya sudah membayar sepasukan preman untuk menghancurkan rumahku? Atau mereka sengaja menahannya supaya tidak datang membantuku?

Entahlah. Mungkin dia sudah nggak mau tahu lagi…

Apa benar dia sudah melupakanku ?


“Hey! Apa kamu mau terus diam kayak patung begitu, Sayang? Mau sampai kapan berdiri bengong begitu, hah? Bego banget, cuma gara-gara cowok goblok begitu kok bisa jadi linglung begini. Sialan juga si Benny. Kenapa harus aku yang mengurusimu? Mentang-mentang dia sudah punya anak-istri terus aku yang jadi korban. Memangnya aku nggak punya kehidupan? Apa aku mirip babysitter?”

Brondong sialan itu sama sekali tidak punya rasa simpati pada penderitaanku. Ejekan dan gerutuan silih berganti keluar dari mulutnya diiringi tudingan-tudingan ke wajahku.

“Makanya sadar diri. Kamu bukan tandingan Dina. Jauuuh, Sayang.”

Hhhh! Belaian tangannya di wajahku membuatku jijik namun aku tetap membeku. Melihatku tidak bereaksi, tangannya makin bebas menjelajahi tubuhku.

“Dina juga sama gobloknya. Dia pikir dia itu siapa,” suaranya memelan seiring gerakan tangannya yang menyibakkan blusku setelah semua kancingnya dibuka, “main serbu rumah orang kayak pasukan buru sergap saja padahal kamu kan bukan teroris. Apa kata Papa nanti, ya. Hmm… kelihatannya kamu sama sekali nggak keberatan, Sayang. Tumben kamu jadi penurut begini, pasti kamu menikmatinya.”

Tangannya menyibak rok miniku dengan mudah dan aku merasakan kehangatan telapak tangannya mengusap-usap area paha dalamku. Seharusnya aku marah dan aku memang marah, tapi kemarahanku terasa samar. Bukan teredam oleh nafsu, tapi karena rangsangan seks yang ditawarkannya terasa antara ada dan tiada meski aku dengan jelas merasakan sentuhan jari-jarinya yang sudah menyelinap masuk ke dalam celana dalamku.

Aku seperti terhipnotis, hanya bisa menonton tubuhku digerayangi brondong sialan itu tanpa daya. Dan Yuda tak menyia-nyiakan kesempatan langka ini dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Diperlakukannya tubuhku seperti mainan. Tak hanya meraba dan meremasi, dia juga menyentil, mencubiti, menciumi, menjilati dan menggigiti seluruh bagian tubuhku sambil terus memandangiku menunggu reaksi yang sayangnya tak juga muncul.

Ayo, sadar dong, May! Jangan diam saja! Dia sudah hampir menelanjangimu! Tinggal BH yang cupnya sudah separuh terbuka dan celana dalam yang sudah tersingkap yang menempel di badanmu!

Aku juga tahu, tapi aku seperti tidak bisa bergerak. Apa dia sudah meracuniku, tapi sejak tadi kan aku belum makan dan minum apa-apa. Payah, kenapa otakku sama sekali nggak mau menuruti perintahku?


Brondong kurang ajar itu kini berlutut di hadapanku. Satu tangannya memerah payudara kananku sementara tangan lainnya mengucek-ngucek dan mencolok-colok kelaminku. Mulutnya sibuk melumat payudara kiriku dengan puas. Pentil kiriku sudah mengkilat dilumasi ludahnya dan mengeras karena gigitannya. Bunyi kecipak terdengar jelas dari selangkanganku.

Perbuatannya mengingatkanku pada bayangan seraut wajah yang sudah lama kulupakan. Gawat, kenangan akan sesosok manusia tanpa hati yang sudah membuat masa kecilku jauh dari bahagia itu kini kembali muncul. Selama ini kupikir aku sudah berhasil menyingkirkannya, ternyata dia masih bersembunyi di salah satu sudut paling gelap ruang penyimpanan memori dalam otakku.

Mendadak aku jadi takut setengah mati. Bukan hanya oleh kilas balik masa silam yang makin menyesakkan dadaku, namun juga desir yang merindingkan bulu-bulu halus karena rangsang seksual yang biasanya kurasakan kini hilang. Bukannya aku ingin menikmati perbuatan laknat brondong sialan ini, tapi ada apa denganku? Bagaimana bisa aku mati rasa? Apa syarafku mulai lumpuh?

“Kamu jadi mirip sex doll, Sayang,” tukasnya sambil menggotong tubuhku dan merebahkannya ke atas sofa. “Sebenarnya aku lebih suka main dengan manusia normal, tapi daripada nggak ada ya yang begini juga lumayan. Terima kasih, Pak Benny, kamu sungguh baik hati.”

Seringai yang menghiasi wajah boyish-nya membuatku makin marah, namun amarah tak juga meledak, seperti menguap begitu saja. Kenapa Pak Benny menyerahkanku pada bocah brengsek ini? Apa dia sengaja menjadikanku budak seks anak majikannya?

“Nggak nyangka cuma gara-gara kubilang si goblok itu ikut meeting serah-terima pekerjaanmu, kakakku tercinta langsung ngamuk dan membuatmu jadi gila begini.”

KRAK!

Topengku sepertinya patah jadi dua. Pada saat yang sama sekujur tubuhku bergetar keras. Tiba-tiba saja belenggu yang membekapku terlepas dan aku bebas!

“Anjrittt!! Jadi semuanya gara-gara kamu! Gara-gara kamu, rumahku jadi rusak!! Sialan!! bangs*t!! Sekarang aku harus tinggal di mana?? Pergi!! Jangan sentuh aku!! Aku benci kamu! Aku benci kamuuu!!”

Kubiarkan diriku mengamuk sepuasnya. Kulempari dan kupukuli sang tuan rumah dengan barang yang ada di dekatku. Dia juga kutendangi habis-habisan. Suaraku sampai serak, mataku berair dan dadaku terasa panas. Aku pasti mirip orang gila beneran, tapi aku sangat menikmati pelampiasan emosi ini, sayangnya Yuda tidak menerima amukanku begitu saja. Dia berusaha melawanku, menangkap tanganku dan memitingku. Kurang ajar! Dia berhasil memojokkanku, tapi aku tidak tinggal diam dan akan tetap mela…

PLAK!!

Bumi terasa bergoyang keras. Rasa panas yang menyengat di pipi kananku menyebar cepat ke seluruh wajah seiring denging keras yang menggema di telinga kananku. Pandanganku sempat memburam sebelum kembali melihat wajah galak yang bertengger persis di atas mataku.

“Dasar cewek gila! Masih berani memukuliku lagi?”

Aku mendelik marah. Seribu kata makian siap kuberondongkan keluar namun bibirku bergetar dan yang keluar malah isak tangis yang disusul sedu-sedan penuh ratapan. Dadaku sampai sakit karena sulit bernapas akibat sesenggukan dengan keras. Benar-benar memalukan. Apa yang terjadi jauh lebih parah daripada yang kutakutkan. Sudah kuduga kalau aku tak bisa mengendalikan ledakan emosi yang kupendam sekian lama. Yang kusesali kenapa harus disaksikan musuh bebuyutanku.

* * *


“Kamu mau kabur ke mana, Sayang?”

Sialan. Kenapa dia tiba-tiba muncul. Bukankah aku tadi sudah berhasil menguncinya di dalam kamar mandi?

“Itu bukan urusanmu!”

Dia hanya tertawa melihatku membuka pintu apartemen dan berlari keluar. Padahal aku sendiri tidak tahu harus pergi ke mana dulu. Pulang ke sisa rumahku atau melapor ke polisi atas berbagai perbuatan tidak menyenangkan yang kuterima dari keluarga Munaji atau pergi ke bank mengurus tabungan, deposito juga kunci safe deposit box atau menghubungi Rio. Yang penting aku harus pergi dari sarang brondong sialan ini.

Sambil berpikir aku terus berlari hingga akhirnya aku tiba di pelataran parkir. Tiba-tiba kusadari aku menjadi tontonan orang banyak. Mereka semua memandangiku dengan sinis bercampur jijik. Apa yang salah pada diriku? Aku tidak telanjang meski pakaianku kusut. Apa ada tulisan besar di jidatku yang menyatakan aku perebut suami orang?

“Dasar perek!”

Aku terkesiap. Dina ada di sini! Ya, itu dia bersama gang Barbie-nya. Sepertinya dia membawa sepasukan preman, pasti gerombolan sama yang sudah menyerbu rumahku. Aduh! Aku harus lari ke mana?

Mereka semakin rapat mengepungku. Ditengah seruan makian kotor, aku masih bisa mendengar tawa Yuda. Dia masih di atas, menontonku dari balkon sambil melambai-lambaikan tangan dengan ceria sembari membuat gerakan kiss-bye.

“Sudah kubilang kalau kamu nggak akan akan bisa lari dariku.”

Rasanya aku kena serangan jantung seketika. Jantungku seperti berhenti berdetak, dadaku sesak karena aku tak bisa bernapas dan keringat dingin langsung membanjiri tubuhku. Suara itu… Tidak mungkin… Bagaimana dia juga bisa berada di sini? Apa Dina sudah berhasil mengetahui rahasia gelapku? Tapi dia tahu dari mana? Rio?

“Maya.”

Sumber suara itu berada tepat di belakangku. Rasa penasaran mampu mengalahkan rasa takut juga rasa sedih karena kecurigaanku atas pengkhianatan Rio. Dengan perlahan aku menoleh ke belakang. Jantungku kini berdetak cepat dan terus menggila hingga rasanya pembuluh darah di organ vitalku nyaris pecah. Wajah itu… Bagaimana mungkin dia tidak berubah setelah sekian tahun lamanya?

“Kali ini pahlawanmu nggak bisa menolongmu lagi,” ejeknya setelah tanpa sadar aku memanggil nama Rio dengan penuh keputusasaan.

Tawa seraknya menggetarkan nyaliku, membuat sekujur tubuhku gemetar ketakutan. Sementara itu mereka terus maju dan meringkusku dengan mudah meski aku terus meronta dan menjerit-jerit minta tolong. Lelaki tua itu terkekeh senang melihatku makin panik setelah kedua tanganku dijulurkan dengan paksa ke arahnya. Dia mirip Pak Guru SD yang memeriksa kebersihan kuku muridnya. Hanya saja bukan penggaris kayu panjang yang menjadi senjatanya, tapi parang.

Aku menjerit sekeras mungkin saat parang itu terayun. Aneh, tubuhku ikut terayun bahkan dengan keras, lebih mirip guncangan. Gempa? Sinar matahari terik memudar dan perlahan wajah-wajah beringas itu lenyap digantikan wajah seseorang di tengah keremangan.

“Bisa nggak sih aku tidur tenang di apartemenku sendiri?”

Gerutu ketus itu menyadarkanku.

“Dari tadi teriak-teriak memanggil nama si goblok itu. Dia nggak bakalan berani datang kemari, Sayang! Dia terlalu takut sama bini dan mertuanya! Sadar diri dong! Jangan ganggu aku lagi atau aku tendang kamu keluar dari sini. Dengar ya, aku nggak boleh bangun kesiangan karena ada meeting dengan Bank Mandiri jam 10. Kalau saja aku punya obat tidur...”

Di tengah omelannya, aku memeriksa kesepuluh jari tanganku yang gemetar. Semuanya utuh kecuali kelingking kananku yang buntung satu ruas. Ketika cerocos kesal tetangga seranjangku usai, aku masih duduk termenung. Mencoba berpikir apa yang sudah terjadi dan apa yang harus kulakukan. Tapi otakku beku, aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa berbaring di sini dengan tubuh berbalut pakaian dalam saja.

Oh, pasti aku tertidur setelah kelelahan menangis, tapi rasanya mimpi buruk itu tidak sekali menyerangku. Omelan tadi terasa seperti déjà vu. Ya, sebelumnya aku juga sudah mengigau di sofa, membuat Yuda marah karena harus turun dari ranjang untuk membangunkanku, kemudian memaksaku pindah ke sini supaya lebih mudah menyadarkanku.

Kupandangi sesosok tubuh yang berbaring memunggungiku. Dengkur halus yang disuarakannya membuatku iri. Mengapa dia bisa tidur nyenyak sedangkan aku harus tersiksa dengan mimpi buruk? Benar-benar tidak adil! Brondong sialan ini kan bukan orang baik. Dia sudah sering menyakitiku, tapi tetap saja nasibku lebih sial darinya. Padahal aku orang baik. Aku tidak pernah menyakiti hati siapa pun.

Apa merebut suami orang itu perbuatan baik?

Shit!!

Dengan kesal aku melompat dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Kubasuh wajah dan tengkukku. Rasa kesal mereda digantikan rasa nelangsa setelah melihat betapa menyedihkan wajahku yang pucat. Mataku sembab dan pipi kananku sedikit bengkak.

Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak juga bisa berpikir dengan jernih. Aku butuh istirahat agar punya energi untuk berpikir, tapi tiap kali tertidur mimpi buruk langsung menyergapku. Bagaimana caranya supaya bisa tidur lelap tanpa obat tidur? Orgasme? Masa aku harus masturbasi?

Yang benar saja! Ini kan kediaman brondong sialan itu!

Tapi dia kan sedang tidur, lagipula aku melakukannya di sini.


Tanpa memedulikan protes di kepalaku, aku memelorotkan celana pendek dan celana dalam pinjaman Yuda kemudian duduk di kloset dengan kaki mekangkang lebar. Kedua tanganku menjamah dan menggosok kelaminku dengan lembut. Aku bisa melihat semua gerakan tubuhku dengan jelas karena persis di hadapanku terpasang sebuah cermin. Aku tidak tahu mengapa masih harus ada cermin lagi setelah ada cermin besar di atas wastafel, belum lagi dipasang di daun pintu persis menghadap kloset. Apa bagusnya memandangi tubuh sendiri yang sedang nongkrong buang air?

Kamar mandi ini lumayan luas namun lantainya agak licin sepertinya sudah lama tidak dibersihkan. Tidak seperti kamar mandiku. Biarpun genit, Atik rajin bekerja. Dia mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik tanpa harus disuruh. Kasihan, pasti tadi dia takut setengah mati. Pak Benny sepertinya tadi bilang pembantuku itu terluka kena pecahan kaca. Sekarang dia sedang apa, ya? Siapa yang menampungnya? Mendadak aku jadi kangen pada rumahku. Dan air mata kembali menggenang di pelupuk mataku.

“Aku pikir kamu minggat.”

Aku tersentak. Sialan, aku tadi pasti lupa mengunci pintu kamar mandi. Entah sejak kapan brondong sialan ini berdiri di depanku. Tubuhnya yang menjulang menutupi bayangan tubuhku di cermin.

“Sakit perut atau mencoba masturbasi biar bisa tidur?”

Dengan santai dia duduk di lantai beralaskan keset handuk sambil bersandar pintu shower. Pandangannya tertuju pada selangkanganku. Seharusnya aku kembali memakai celana dalamku, tapi buat apa. Toh dia sudah sering melihatnya.

“Nggak usah repot-repot menendangku keluar. Aku sendiri yang mau pergi dari sini,” ujarku segagah mungkin.

“Jangan ngambek begitu dong, Sayang. Aku tadi sengaja memancing emosimu karena Benny bilang kalau kamu diam saja nanti bisa keterusan jadi gila. Jadi kalau kamu mau marah ya marahlah sama dia.”

“Apa dia dengan terang-terangan menyuruhmu memerkosaku lagi?”

Yuda tertawa geli.

“Sudahlah, Sayang. Kamu kan tahu aku dengan senang hati bisa membantumu mencapai orgasme.”

“Jangan panggil aku Sayang. Aku benci mendengarnya.”

“Oke, tapi berarti kamu butuh bantuanku kan?”

Aku terdiam memandangi tangannya yang mengelus-elus dengkul dan paha dalamku. Usapannya membuatku terangsang. Haruskah aku menjawab ‘Ya’?

“Tapi kamu harus cerita dulu apa mimpi burukmu. Selain nama si goblok itu, kamu juga memanggil-manggil Opa? Apa dia Opamu? Masih hidup?”

Kuhembuskan napas panjang untuk meredakan rasa takut yang tiba-tiba menggidikkan.

“Dia… dia orang jahat. Sama seperti kamu.”

“Sembarangan. Apa aku masih kurang baik sudah menampungmu di sini?”

“Dia juga menampungku sekaligus menggerayangiku.”

“Cuma menggerayangi?”

“Nggak juga. Dia impoten, tapi dia orang yang pertama mengajariku oral sex. Dia juga yang memerawaniku.”

Aneh juga, semakin lancar aku membocorkan rahasia kelamku, semakin tipis rasa takutku.

“Lho, katamu dia impoten.”

“Pakai jari juga bisa kan? Dia juga yang membuntungi kelingkingku.”

Yuda terdiam. Matanya terpaku pada kelingking malangku.

“Dia membenciku sejak sebelum aku lahir. Aku ini satu-satunya keturunannya, tapi di matanya aku ini pembawa sial. Gara-gara mengandung diriku, kuliah mama berantakan. Dan gara-gara melahirkanku, mamaku meninggal. Padahal mamaku adalah anak tunggalnya.”

“Omamu? Papamu?”

“Omaku lumpuh, kerjanya hanya berbaring di tempat tidur. Sedangkan papaku…,” aku mendengus sejenak sebelum melanjutkan, “Aku belum pernah bertemu dengannya. Dia terpaksa menikahi mamaku agar aku tidak jadi anak haram lalu menghilang begitu saja. Apa nasibku lebih baik daripada jadi anak haram? Buktinya nasibmu jauh lebih bagus.”

“Itu kan tergantung siapa bapaknya. Kamu saja yang sial kebetulan dapat bapak yang nggak punya tanggungjawab. Lalu kenapa dia membuntungi kelingkingmu?”

“Dia marah setelah kubilang kalau aku nggak mau tinggal bersamanya lagi. Waktu itu aku baru lulus SMA. Kami bertengkar di pagi hari dan malam harinya tiba-tiba dia memukuliku lalu memotong jariku. Jariku sampai bengkak sebesar bola golf dan aku demam tinggi selama dua hari sampai nyaris nggak sadarkan diri gara-gara infeksi. Aku pasti sudah mati kalau Rio nggak datang membawaku kabur. Sejak itu aku tinggal di rumah Omanya Rio. Dia baik sekali dan menganggapku cucunya sendiri sampai aku hampir membunuhnya.”

“Hampir membunuh siapa? Omanya Rio?”

“Ya, dia kena serangan jantung setelah menangkap basah kami berdua sedang bercinta. Dia nggak pernah mengusirku, tapi aku yang tahu diri. Jadi aku yang pergi.”

“Ah. Jadi itu sebab kamu selalu mengalah sama si goblok itu.”

“Jangan sebut dia goblok. Dia seratus kali lipat jauh lebih baik darimu.”

“Oh, ya? Kalau baik, dia nggak akan meninggalkanmu sendirian, Sayang.”

“Dia pasti punya alasan kenapa nggak datang kemari dan jangan panggil aku Sayang, bodoh!”

“Bukan soal dia datang kemari atau tidak, tapi kalau dia benar mencintaimu seharusnya kamu yang dinikahinya bukan Dina.”

“Aku sudah terlalu banyak berhutang budi dan nyawa padanya.”

“Apa kamu merasa nggak pantas bersanding dengannya? Memangnya apa bagusnya dia? Dia nggak lebih dari cowok mata duitan yang memanfaatkan perempuan kecil bernafsu besar seperti kamu. Sekarang,” ujarnya sambil menarikku berdiri, “pakai celanamu dan pergi tidur.”

“Kamu pikir aku bisa tidur? Bukannya tadi kamu bilang ingin membantuku?” seruku nekat.

Rasa malumu di mana, May?

Apa rasa malu itu masih harus tetap ada kalau dia sudah tahu semuanya?

Kamu terlalu impulsif. Pasti akhirnya kamu menyesal.

Biarin saja. Aku kan nggak akan bertemu lagi dengannya. Besok aku akan meninggalkan tempat ini dan nggak akan kembali lagi kemari.


“Busyet! Jadi kamu masih ingin masturbasi? Kacau banget sih kamu ini.”

“Jangan bilang kamu kasihan padaku karena aku nggak butuh simpatimu. Aku nggak sudi dikasihani oleh orang brengsek sepertimu.”

Yuda menggeleng-geleng sambil menepuk-nepuk kepalaku.

“Oke, oke, akan kulayani kamu. Tapi ingat, kamu yang minta jadi jangan menyesal karena aku sama sekali nggak kasihan sama kamu.”

Kami mirip dua ayam jago yang hendak bertarung. Adu tatap dengan pandangan menantang. Kemudian dia duduk di atas kloset dan menyuruhku membuka sisa pakaian dalam yang menempel di tubuhku. Tidak sampai lima detik kemudian aku sudah telanjang di hadapannya. Lalu dia memintaku duduk memunggunginya di atas pangkuannya. Saat itu juga aku tahu mengapa dia memasang cermin di balik pintu. Playboy gila ini pasti sering mencumbu korbannya di sini.

Seperti beberapa jam yang lalu kini aku kembali menjadi penonton sekaligus obyek adegan seksual. Hanya saja kali ini aku bisa melihat dengan lebih jelas ekspresi wajahku saat tangan kirinya merambah payudara kiriku sementara jari-jari tangan kanannya mengucek kemaluanku dengan leluasa. Gosh, aku makin terangsang melihat bagaimana aku mengernyitkan dahi dan menggigit bibir menahan lenguhan penuh kenikmatan itu keluar dari mulutku. Dan geliat liar tubuhku di atas pangkuannya membuatku tak ubahnya seperti bintang film porno.

“Kamu memang perempuan kecil bernafsu besar,” bisik Yuda sembari mengulum daun telingaku.

Lidahnya menelusuri leherku yang jenjang dan tengkukku, membuat bulu kudukku berdiri. Tangan kananku diangkat dan dengan tangkas kepalanya menyusup di ketiakku menyerang payudara kananku dengan kenyotan dan gigitan. Tubuhku melonjak-lonjak seiring gosokan jarinya pada klentitku. Klimaks sudah semakin dekat, tapi kucoba menahannya selama mungkin. Dan sepertinya dia tahu keinginanku sehingga gerak jarinya tidak pernah terpaku di satu tempat.

“Nghh… aaaah… oooh… mmmhh….”

Lenguhanku tertahan oleh jari-jemari kirinya yang diselipkan ke dalam mulutku. Tanpa ragu kukulum dan kuemut dengan lapar. Sementara tangan kiriku meneruskan tugasnya menghibur payudara kiriku yang kesepian.

Aku bisa merasakan kelaminnya mengeras di balik celana boxernya. Aku sudah tidak sabar ingin dipuaskan oleh penisnya, tapi gocekan jarinya membuat tubuhku mirip cacing kepanasan. Kini jari tengahnya menerobos masuk liang vaginaku membuat gerakan memutar dan menekan sedangkan jempolnya menggosok-gosok klitorisku yang sudah merah membengkak.

“Mmmhhh… nggghhh… Aaaaaaah!!”

Dia segera melepaskan mulutku dan menekan kandung kemihku. Bersamaan dengan teriakan kerasku, kulihat percikan air keluar dari kelaminku.

“Kamu squirt atau pipis, Sayang? Eh, iya, maaf. No more Sayang,” ujarnya sambil terkekeh.

Aku tidak menyahut. Hanya bisa bersandar pada tubuhnya sembari terengah dalam luapan kepuasan penuh kelegaan. Kupejamkan mataku sambil mengatur napasku. Kubiarkan tangannya meremas-remas tubuhku dengan gemas. Sesekali dia bicara, tapi suaranya terdengar makin jauh.


* * *


“Sudah kubilang… kalau aku… nggak…. kasihan… sama kamu!”

“Aaah… aaah…aahhh…”

Kubiarkan lenguhan mengalun lepas dari tenggorokan seiring sodokan maut yang mengocok liang vaginaku. Kedua kakiku melibat pinggul Yuda seakan takut tautan kelamin kami terlepas. Dan dia terus memompaku dengan keras hingga tubuhku bergeser hingga kepalaku terayun bebas di pinggir ranjang. Teriakanku makin lantang ketika kedua buah dadaku diperas dan dilumat dengan keras. Aku bahkan tidak peduli seandainya kepalaku terbentur lantai dan kami berdua terjatuh dari ranjang. Yang penting hasrat seksku harus dipuaskan dengan semaksimal mungkin.

Namun dia malah menghentikan goyangan pinggulnya. Tiba-tiba dia mengangkat kepalaku dengan cara menjambak rambutku sehingga hidung kami nyaris beradu.

“Bisa-bisanya kamu ketiduran setelah orgasme. Ke…ter…la…lu…an….”

Setiap suku kata kalimat terakhir diucapkan dengan penuh penekanan. Pada saat yang bersamaan penisnya menekan makin dalam membuatku tubuhku kembali menggeletar.

Dia memang pendendam. Begitu bangun, aku sudah disodori kelaminnya yang setengah berdiri untuk dioral lalu menggarapku dengan ganas tanpa foreplay. Didorongnya tubuhku hingga telentang dan kedua kakiku langsung dilebarkan. Kemudian dia langsung mendorong paksa senjatanya yang sekeras kayu ke dalam lubang kemaluanku. Rasa perih membuat gigiku gemertak, tapi tubuhku cepat panas sehingga tak butuh waktu lama untuk bisa mengimbangi permainan kerasnya.

“Harder… harder…,” pintaku tanpa malu saat klimaks itu kurasa makin dekat.

Sesaat aku lupa kalau dia itu musuhku, orang yang sudah bertanggungjawab atas rentetan kesialan dalam hidupku. Dan sepertinya dia juga lupa mempermainkanku. Biasanya dia sengaja membuatku merengek, mengemis minta dipuaskan. Kali ini kami adalah sepasang manusia yang sedang sibuk melampiaskan nafsu masing-masing.

Kedua kakiku diangkat dan ditekannya kedua paha dalamku. Sakit, tapi membuat penisnya menyodok makin dalam, menyundul-nyundul bibir rahimku. Lalu dia kembali menggenjot dengan penuh semangat. Yang aku bisa lakukan hanyalah memijat kelaminnya yang menggesek G-spot-ku sambil terus melenguh dengan makin keras dan selang beberapa menit kemudian kurasakan getaran nikmat diiringi banjirnya lubang sempit di bawah sana.

Dia mengganti posisi menjadi doggy style. Dia tahu benar bagaimana memuaskanku. Tangannya tidak pernah menganggur meski kelaminnya sibuk menumbuki liang kelaminku. Jari-jemari kanannya memperlakukan klentitku bak senar gitar yang terus dipetik dalam kecepatan tinggi sementara tangan kirinya memuntir-muntir puting payudara kiriku. Lidahnya menyapu punggung tepat di atas tulang belakangku membangunkan saraf-saraf di sekujur tubuhku sehingga klimaks berikutnya datang dengan dahsyat, membuatnya harus membekap mulutku karena lengkingan suaraku begitu keras.

Kami bertempur hingga peluh menetes deras, sederas hujan yang mendera bumi di luar sana. Ditambah lelehan cairan kelamin kami, seprai yang acak-acakan itu jadi basah kuyup. Bantal, guling dan selimut sudah tersebar di lantai sekitar ranjang. Dan ketika perang itu usai, kami hanya bisa terkapar dengan iringan bunyi ngos-ngosan.

Aku tertidur lagi dan saat bangun hari sudah sore. Perutku lapar setengah mati dan sekujur tubuhku pegal-pegal. Pejantanku sedang berdiri di dekat jendela menghadap pemandangan di luar. Langit gelap dan sesekali kilat menyambar. Dia sudah berpakaian dan sedang menelepon dengan nada gusar.

Tiba-tiba aku ingin tertawa. Jangan-jangan dia sedang dimarahi papanya gara-gara lupa meeting jam 10 karena asyik bergulat denganku. Namun seketika tawa yang ingin meledak itu tertelan kembali ke tenggorokan. Bukankah seharusnya aku juga pergi dari sini? Ada banyak hal yang harus kuurus. Mulai dari rumahku, sisa hartaku di bank, Atik, polisi dan yang lainnya. Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras. Duh, rumahku pasti makin rusak.

Kami melalui sisa hari tanpa banyak bicara, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Komunikasi yang terjadi singkat, seperti saat dia menyuruhku mandi atau makan. Ketika waktu tidur tiba, kami bicara dalam gelap.

“Besok aku harus masuk kerja.”

“Besok aku harus pergi dari sini.”

Kami berdua bicara pada saat yang sama dan mengangguk setuju pada saat yang sama pula. Kemudian diam lagi. Sampai kemudian kami terbangun di tengah malam karena lutut kami saling membentur. Kami bertengkar meributkan batas wilayah ranjang lalu saling dorong dan ujung-ujungnya bergulat lagi.

Aku tidak mengingkari kalau klimaks yang kudapat dari ngeseks dengan brondong sialan ini memang luar biasa. Mampu mengenyahkan mimpi buruk dan membuat tidurku pulas saking banyaknya energi yang terkuras. Namun tidak ada kelembutan dan kehangatan seperti yang kudapat dari bercinta dengan Rio. Rio… kamu di mana?

Bayangan wajah Rio tercabik digantikan wajah adik iparnya yang sedang menindihku. Bibirnya melumat bibirku dengan buas, kedua tangannya melibat punggungku dengan erat membuat dadaku sesak sementara penisnya yang keras memasak liang vaginaku tanpa henti. Kutancapkan kesembilan kuku jariku di punggungnya dan menekannya dalam-dalam. Dia makin beringas dan membalasnya dengan mencaplok leherku, membuat cupang di sana-sini. Ronde ini hanya satu gaya, tapi sungguh amat sangat melelahkan. Dan ketika pelampiasan nafsu usai, aku kembali terlelap bak Sleeping Beauty.

Sayangnya, bukan pangeran tampan yang membangunkanku, tapi gedoran kasar pada pintu apartemen. Lho, kok aku sendirian? Brondong hiperseks itu menghilang ke mana? Sekarang jam berapa? Hah, sudah jam 11? Aduh, berisik banget. Siapa sih? Aku berpakaian seadanya dan mengintip lubang pintu dengan hati-hati. Seorang perempuan paruh baya? Pelanggan? Eh, kenapa aku langsung menduga Yuda itu gigolo? Tentu saja karena nafsu seksnya yang besar. Tapi kenapa ibu itu juga membawa dua orang satpam?

“Buka pintunya atau aku panggil polisi! Aku tahu ada orang di dalam!”

Waduh. Ada masalah apa sih si brondong sialan ini? Dengan terpaksa aku membuka pintu.

“Ibu cari siapa? Yuda nggak ada di sini.”

Sebenarnya dia masih terlihat ayu, sayangnya dia malah mendelik sehingga lebih mirip tokoh ibu-ibu dalam sinetron.

“Aku juga tahu Yuda nggak ada di sini! Kamu siapa?”

“Saya… eh… saya teman kerjanya.”

“Bohong! Kalau teman kerja kenapa kamu nggak masuk kerja?”

“Karena saya sudah nggak bekerja lagi di sana.”

“Jangan bohong! Sejak kapan anak itu kenal cewek murahan begini? Aduh, Yuda, Yudaaaaa!”

“Bu, kalau ngomong jangan sembarangan! Saya bukan cewek macam begitu.”

“Kalau bukan, kenapa pakai baju saja nggak becus? Sudah nggak pakai celana, lehermu penuh cupang begitu.”

Oh no... Aku baru sadar kalau aku hanya memakai kaus oblong putih milik Yuda tanpa BH. Dua satpam bertubuh tegap yang berdiri di belakang ibu bawel itu sedang menatap dadaku dengan lekat. Jakun mereka yang besar naik turun.

“Sekarang kamu cepat pakai baju lalu ikut aku.”

“Lho ibu ini siapa sih? Kok main perintah sembarangan. Kalau bukan mencari Yuda kenapa harus kemari? Saya juga bisa memanggil polisi,” tukasku sebal.

“Saya ibunya Yuda! Cepat pakai bajumu dan kita ke kantor. Aku mau tahu apa kamu masih berani berbohong di depan Pak Deddy. Ayo cepat!”
Read Full 0 komentar

CInta Tak Pernah Salah (4)

Ada yang menaruh batu besar di belakang kepalaku dan membebatnya dengan erat lalu ada yang memukul-mukul pelipisku dengan palu, membuat sepasukan pembuluh darah di kepalaku berdenyut kencang. Hawa panas membakar tenggorokanku dan rasa pahit menyerang mulutku.

Ugh… aku paling benci saat-saat seperti ini. Saat di mana kesadaran kembali menguasai diriku, menyiksa tubuhku dan menggedor hatiku dengan perasaan yang akan membebaniku mungkin untuk sepanjang masa hidupku. Penyesalan karena sudah melakukan hal-hal paling goblok yang tidak pernah terbayangkan oleh otakku yang hebat itu.

Ayolah, bangun, May. Kamu kan nggak mungkin terus-terusan berbaring menyesali diri seperti ini.

Lebih baik aku mati saja. Bagaimana bisa aku menghadapi orang sekantor setelah mabuk berat, muntah dan pingsan di tengah pesta pernikahan anak big boss? Mana sebelumnya sempat bercin… halah, salah melulu sih! Maksudku ngeseks habis-habisan dengan Munaji junior di rumah mewah mereka. Haduh! Apa kata Rio nanti? Shit! Buat apa memikirkan dia terus? Sudah jelas dia bukan milikku lagi dan sejak dulu memang tidak pernah berhasil kumiliki. Dia juga tidak mau memaafkanku apalagi setelah kehebohan kemarin. Seharusnya yang tadi kubilang, apa kata Pak Deddy nanti? Pasti aku dipecat dengan tidak hormat, tanpa surat referensi, tanpa pesangon dan bisa jadi masih harus mengganti rugi karena sudah membuat kerusuhan di pesta mewah itu. Lalu aku harus bagaimana? Masih bisakah aku membela diri tanpa membuat serangkaian kekacauan lainnya? Tapi bagaimana caranya? Mengakui kalau selama ini aku menjadi simpanan Rio dan dengan sukarela diperdaya putra tunggal yang baru saja ditemukannya itu? Duh, apa aku harus bunuh diri? Tapi itu akan lebih memalukan lagi kan?

Eh, bunuh diri itu hanya dilakukan oleh orang-orang lemah dan kamu itu kuat. Anggap saja ini tantangan bagaimana memperbaiki citra diri. Pakai semua ilmu dan jurus marketing yang kamu punya. Yang jelas sekarang kamu harus bangun dulu.


Sembari mengeluh, kubuka mata dengan enggan. Sinar terang menyilaukan membuat kelopak mataku terkatup lagi.

“Kalau masih betah menggeletak di situ ya nggak usah bangun.”

Suara itu lagi. Suara yang tidak ingin kudengar lagi, tapi mampu membuat kedua mataku terbuka lebar seketika. Yang pertama kulihat langit-langit kamar berwarna krem atau broken white, entahlah, pandanganku sedikit buram karena mataku sepertinya terhalang belek tebal. Pastinya ini bukan kamarku.

Kuangkat kepalaku dan… Auch! Rasanya ada yang menabok dinding tengkorakku dari dalam, membuat kepalaku berdentang sehingga aku hampir mengelimpang lagi, tapi kupaksa bertahan dan melihat sekeliling. Ruangan ini luas, tanpa penyekat, mirip apartemen studio. Mataku akhirnya tertumbuk pada sesosok lelaki paling kurang ajar yang pernah singgah dalam kehidupanku. Dalam balutan t-shirt abu-abu belel, Yuda duduk santai di kursi malas di sebelah ranjang tempatku berbaring. Segepok koran tergeletak di atas pangkuannya. Dia memandangku dengan pandangan melecehkan.

“Aku di mana?” sergahku serak.

Aku beringsut bangun. Tanganku terus memegangi kepala seakan takut lepas saking beratnya.

“Di apartemenku. Memang nggak sebagus kamar pengantin yang kemarin kita pakai, tapi masih pantas kok buat pemabuk seperti kamu, Sayang,” sahutnya cuek sembari menyeruput kopi yang harumnya mampu menyentil saraf-saraf di kepalaku yang belum bisa berkoordinasi dengan beres.

Aku benci sekali mendengarnya memanggilku Sayang. Dia tidak pantas memanggilku begitu. Rio saja tidak pernah memanggilku Sayang. Petname tidak harus Sayang kan? Yakuza juga bagus. Tunggu dulu, kok aku jadi meributkan panggilan gombal sih? Dan kenapa juga harus menyebut nama pengkhianat cinta itu lagi? Barusan brondong sinting ini seperti menyebut kamar pengantin, apa maksudnya? Kapan aku dan dia… Oh my God!!! Jadi kemarin itu kami ngeseks di kamar pengantin Rio dan Dina? Pantas ada banyak bunga di dalam kamar dan tebaran kelopak bunga mawar di atas ranjang. Shit! Gila! Sinting!!!

“Kita masuk koran. Sayangnya bukan soal kamu yang muntah lalu ambruk begitu saja. Padahal justru di situ klimaks kehebohan semalam. Tapi nggak usah kecewa, mukamu yang sedang bengong ikut terjepret kamera kok."

Denyut di kepalaku makin kencang setelah melihat foto di koran lokal berbahasa Inggris yang dilemparkannya ke dekat kakiku. Setelah memaksa mataku mendelik baru kulihat diriku di sudut kiri foto. Aku tampak tolol, menggelayut pada buket tulip raksasa (sekali lagi ukuran buketnya yang raksasa, bukan tulipnya) sambil melongo memandangi reuni ayah beranak yang mirip adegan sinetron kejar tayang. Sepasang pengantin anyar malah sama sekali tidak muncul dalam foto. Sialan! Bego banget sih editor koran ini! Seharusnya fotoku dengan pose memalukan itu di-crop saja dong! Bikin malu saja!

"Kurasa aku harus bilang 'selamat' padamu," gerutuku sementara kedua tanganku sibuk memijat-mijat pelipisku.

"Memang seharusnya begitu, Sayang," sahut Yuda sambil terkekeh riang.

"Akhirnya kamu berhasil juga menjadi pusat perhatian, mengalahkan Rio."

Seperti yang kumau, tawanya sontak berhenti.

“Hebat, ternyata kamu masih punya nyali juga.”

“Cuma orang yang nggak punya nyali yang memilih cara-cara kotor supaya bisa mengalahkan pesaingnya.”

Yuda mendengus geram, membanting koran ke lantai dan bangkit berdiri dengan cepat hingga kursi yang didudukinya hampir terbalik.

“Aku jadi penasaran, apa kamu masih bisa mengoceh sembarangan kalau aku menyeretmu dari ranjang, menendangmu keluar dan menjadikanmu tontonan gratis di luar sana.”

Mendadak selimut yang menutupi tubuhku ditariknya dengan kasar dan ternyata… aku bugil! Rupanya dia berhasil juga membebaskan tubuhku dari libatan korset.

Aku tak sempat menjerit dan merebut selimut itu. Buru-buru kuambil bantal untuk menutupi tubuhku sembari beringsut mundur menjauhi sang tuan rumah yang mendekatiku dengan gaya mengancam. Aku tidak tahu mana yang lebih membuatku ngeri, wajahnya yang galak atau kedua tangannya yang mengepal atau penisnya yang setengah berdiri. Ya, dia tidak memakai celana dalam. Tak kupungkiri bila kurasakan sensasi tersendiri melihatnya setengah telanjang separuh terangsang seperti itu.

Sesaat kemudian aku merasa seperti terlibat dalam adegan film slow motion. Detik-detik ketika dia menghampiriku, merebut bantal dari pelukanku, menarik kakiku, membalikkan tubuhku dan memiting lenganku di belakang punggungku terasa berjalan begitu lambat padahal sangat cepat. Begitu cepatnya sampai-sampai aku tidak bereaksi sama sekali. Kadar alkohol yang tersisa dalam darahku mampu membuatku lumpuh tak berdaya, tapi sekaligus membuat lidahku lancar tak terkendali.

“Kalau kamu berani, sejak dulu kamu sudah maju menantang Rio dengan jantan. Nggak perlu menerornya dengan cara mengerjai perempuan kecil seperti aku.”

Ya ampun. Kamu sudah gila, ya? Sejak kapan kamu menyebut dirimu sendiri perempuan kecil?

Aku sendiri juga bingung, kenapa harus bicara nggak karuan di saat posisiku tergencet total begini.


“Dextrocardia.”

Aku terkesiap. Jantungku yang sedang berdebar kencang seperti berhenti sekejap. Selama ini hanya sedikit orang yang pernah mendengar kata asing itu. Dan hanya sebagian dari mereka yang mengerti artinya. Dan hanya segelintir dari sebagian orang itu yang tahu kaitannya denganku. Dari mana bocah kurang ajar ini tahu?

“Dextrocardia,” ujarnya lagi sembari memalingkan wajahku.

Sudah jelas dia ingin melihat reaksiku sekaligus memamerkan keangkuhan di wajahnya. Aku tetap diam walau kuyakin wajahku pucat pasi.

“Kamu ini makhluk langka. Kulihat di internet cuma 1 dari 12.000 manusia yang letak jantungnya di sebelah kanan. Apa posisinya benar-benar terbalik? Cuma jantung atau situs inversus totalis?”

Busyet! Dia juga tahu arti tiga kata latin terakhir itu yang menggambarkan kondisi di mana seluruh organ dalam tubuh terbalik letaknya. Tidak hanya jantung yang letaknya di sebelah kanan, tapi juga lambung. Usus buntu yang seharusnya di kanan jadi berada di sebelah kiri. Begitu pun dengan jeroan lainnya, semuanya bertukar tempat seperti cermin. Untuk kasusku hanya jantung beserta isinya yang posisinya terbalik.

“Dari mana kamu tahu…”

“Gara-gara kamu pingsan seperti orang mati saja. Saat memeriksa detak jantungmu, aku jadi tahu kalau posisi jantungmu nggak normal.”

Nggak normal… Apa sih yang normal dariku? By the way…

“Kenapa aku harus ditelanjangi sih?”

“Karena gaunmu penuh muntahan. Apa aku kurang baik, coba? Sudah menggendongmu sampai jasku juga ikut kena muntahan. Tapi ada untungnya juga kamu muntah, aku jadi bisa melarikan diri dari acara yang membosankan itu. Thanks, ya Sayang.”

Amit-amit.

“Hey, jangan diam saja dong. Apa di sini usus buntumu?” tanyanya sambil menekan perut bawah kiriku.

Aku menggeleng dengan susah payah karena kepalaku masih dipegangi dengan erat.

“Aku selalu berharap memiliki sesuatu yang berbeda dari orang biasa.”

Aku bisa mendengar nada iri dari kata-katanya. Bocah ini benar-benar kekanak-kanakan. Dia pikir aku memiliki kekuatan superhero karena letak jantungku salah?

“Apa efek sampingnya libidomu jadi begitu tinggi? Aku belum pernah main dengan cewek senafsu kamu.”

“Mana aku tahu?” semburku jengkel. “Memangnya ada berapa cewek yang sudah kamu perkosa?”

Dia tertawa.

“Apa gunanya kamu tahu berapa banyak cewek yang sudah kutiduri? Semuanya menikmati kok. Kamu juga begitu kan? Tapi sejauh ini nggak ada yang seliar kamu padahal umurmu paling tua. Nilaimu sembilan, Sayang. Pikir-pikir Rio memang goblok. Dina nggak akan bisa menandingi kehebatanmu di atas ranjang. Kakak tiri tersayangku itu bodinya memang lebih oke dari kamu, kakinya panjang dan payudaranya itu… aku sampai curiga jangan-jangan hasil operasi plastik. Tapi paling dia cuma bisa orgasme palsu.”

Bocah ini benar-benar sakit jiwa. Dia pikir aku ini apa? Dan bagaimana bisa dia mengatakan hal gila tentang kakak tirinya. Tapi ada satu hal penting yang terus mengganjal di benakku.

“Bagaimana kamu bisa tidur di kamar Rio waktu itu?”

“Akhirnya kamu tanya juga soal malam pertama kita di Puncak,” ujarnya senang sembari terkekeh geli. “Waktu pegangan pintu tiba-tiba berbunyi, sebenarnya aku kaget setengah mati. Buru-buru aku matikan senter dan bersembunyi. Tadinya aku mau masuk kolong, tapi itu malah akan mencurigakan. Jadi kupilih tidur di atas ranjang. Kalau misalnya si goblok itu yang datang, aku bisa bilang salah kamar. Eh, ternyata malah aku dapat durian runtuh. Bisa main gratis sepuasnya. Benar-benar malam yang nggak terlupakan. Seandainya waktu itu kamu nggak kabur, kita bisa main terus sampai pagi.”

“Berarti kamu memang punya niat jahat pada Rio!” seruku keras untuk meredam tawa puasnya yang menyebalkan.

“Eh, dia itu sudah merampas hakku, tahu! Seharusnya aku yang jadi Direktur Operasional bukan dia! Selain itu aku juga nggak yakin dengan kejujurannya. Aku nggak setolol kakakku yang sombong. Baru kenal enam bulan sudah mengajak menikah cowok mata duitan yang sok ganteng. Seperti nggak ada cowok yang lebih bagus dari si goblok itu. Sejak awal aku curiga kalau dia mengincar harta keluarga kami.”

“Lalu kenapa kamu nggak pakai kondom?”

Dahi Yuda mengernyit. Dia pasti bingung kenapa topik pembicaraanku mendadak melompat jauh. Aku sendiri juga bingung, tapi otakku sedang error dan aku belum bisa menguasai lidahku yang sepertinya memiliki kehendak bicara sendiri.

“Karena aku memang nggak suka memakainya. Lagipula semua cewek yang pernah kuajak main semuanya baik-baik. Kalau nggak perawan, paling cuma punya satu partner tetap. Aku sehat kok. Nggak percaya? Apa perlu kamu melihat hasil medical check-up ku yang terakhir? Baru dua bulan yang lalu. Bebas dari AIDS, Hepatitis C dan Sifilis.”

“Kalau ada yang sampai hamil?”

“Ya jangan ejakulasi di dalam dong. Lagian kan ada pil luruh. Aku yakin kamu selalu meminumnya tiap kali habis bercinta dengan si goblok itu.”

Pil luruh, salah satu produk andalan pabrik kami biarpun diedarkan terbatas. Gunanya untuk mencegah kehamilan dan harus diminum paling lambat 48 jam setelah hubungan badan. Resminya digunakan untuk korban perkosaan, tapi disalahgunakan menjadi obat anti hamil. Dia benar, aku memang selalu meminumnya tiap kali usai berhubungan badan dengan Rio saat masa subur. Haduh, sekarang ini masa suburku atau bukan ya?

“Tenang saja, aku punya stoknya kok,” tukasnya seperti bisa membaca pikiranku.

“Lalu kamu berharap aku tenang dan menikmati perkosaan in…ihhhh…”

Aku mengerang dan menggelinjang begitu dua jarinya mendadak mengobok-obok liang kemaluanku dan jempolnya menekan-nekan klitorisku dengan cepat.

“Perempuan kecil bernafsu besar,” ejeknya.

Nah, itu baru benar. Shit! Dia tertawa puas melihatku mengerang-erang dan menggelapar-gelepar bak cacing kepanasan. Jari-jarinya terus menggocek meski kelaminku sudah basah kuyup. Ditambah lagi bibirnya kembali menandai leherku dengan hujanan cupang hingga aku nyaris tersedak.

“Sudah… Please… Stop…”

“Yang benar saja, Sayang. Bukannya kamu belum puas kalau belum orgasme lima kali?” tanyanya sinis sambil menggigiti daun telingaku.

“Aku kebelet pipis. Jangan protes kalau aku ngompol,” jawabku disela engahan napas tak beraturan.

“Awas, kalau kamu berani ngompol di sini,” ancamnya sembari segera menarikku berdiri dan mendorongku berjalan ke kamar mandi dengan kasar.

Baru tiga langkah, terdengar dering bernada mendesak yang mengejutkan kami berdua. Yuda menyeretku kembali ke arah ranjang untuk mengambil Blackberry Bold yang tergeletak di atas meja, di samping tempat tidurnya. Wajahnya langsung cemberut dan gerutu tak jelas terdengar dari mulutnya.

“Kamu harus pergi sekarang juga,” tukasnya tiba-tiba. “Bisa pulang sendiri kan? Ini buat ongkos taksi. Ayo, cepat! Tunggu apa lagi?”

Anjrittt!! Kurang ajar!!! Memangnya aku ini perempuan panggilan, seenaknya diusir begitu saja! Kutepis beberapa lembar uang lima puluh ribu yang disodorkannya hingga jatuh berserakan. Setelah berpakaian secepat yang kubisa, aku menghambur keluar sampai lupa dengan rasa kebelet yang menekan kandung kemihku.

Dia tidak mengejarku dan sudah kuduga begitu. Dia memang bajingan bangs*t sialan yang tidak punya rasa peduli sedikit pun padaku. Aku benci dia! Aku benci Rio! Aku benci diriku sendiri! Aku benci hidupku!

Sudah, jangan menangis, May. Buat apa menyesali yang sudah terjadi. Tarik napas dalam-dalam… Yang penting kamu sudah lepas dari cengkeraman brondong sialan itu.

Kurapikan wajah dan rambutku berantakan sebisaku dengan menggunakan pintu lift metalik yang mengkilap sebagai cermin. Oke, rambutku seperti sarang burung, wajahku pucat mengkilat, lipstickku sudah tidak tersisa, di sudut mata kiriku yang basah ada bulu mata palsu yang menggantung dan leherku dihiasi noda-noda merah tua tak beraturan. Gaunku kusut, dihiasi noda berwarna kuning di bagian depan yang baunya bisa mengundang serombongan lalat.

Ting! Pintu lift terbuka. Hanya seorang yang keluar dari dalam. Sepasang matanya menusuk mataku dengan tatapan setajam pisau, mengiris dingin hingga kudukku berdiri.

“Maya,” sapanya datar, seperti tanpa emosi.

“Pak Deddy,” sahutku sambil mengangguk hormat sebelum melompat ke dalam lift yang nyaris tertutup.

* * *


Dalam sebuah motivation training yang pernah kuikuti tahun lalu, kami diajari untuk selalu berpikiran positif dalam situasi apa pun. Kami harus bisa untuk tetap mengatakan ‘Bagus!’ biarpun kami tersandung, terjatuh dan terluka. Tapi sekarang aku tidak bisa bilang begitu. Aku tidak bisa mendapati satu hal bagus sekecil apa pun di saat tersungkur baik secara kiasan maupun harafiah.

Identitas asli biang kerok kekacauan hidupku memang sudah terbongkar. Foto-foto serta memory card berisi file gambar-gambar pose diriku yang tidak senonoh juga sudah diserahkan Yuda kepadaku, namun nasibku tidak beranjak membaik. Aku tidak tahu harus kuapakan koleksi fotoku yang tidak kalah mesum dari postingan gambar-gambar di situs-situs tujuh belas tahun keatas. Rasa malu bercampur marah, terhina dan terangsang bercampur jadi satu. Seharusnya aku menggunakannya sebagai bukti pelecehan seksual bahkan perkosaan ke polisi, tapi wajahku tidak terlihat di sana. Juga tidak ada ciri-ciri khas tubuhku seperti tahi lalat atau bekas luka yang membuktikan kalau foto payudara yang sedang diremas, puting payudara yang sedang digigit, bibir kemaluan yang dibenggangkan dua jari dan siap ditusuk penis itu bagian dari tubuhku. Ujung-ujungnya aku malah masturbasi tiap kali memandangi foto-foto itu. Aku ini benar-benar sakit…

Tiap malam tidurku tetap saja diganggu mimpi buruk. Aku telanjang sendirian di tengah keramaian dan tak ada seorang pun yang sudi mendekatiku seolah aku begitu najis. Kenyataannya kondisiku memang mengenaskan. Aku sudah hampir kehilangan seluruh milikku yang berharga, cinta dan karirku. Dan baru kusadari kalau aku tidak punya teman selain Rio. Aku benar-benar kesepian.

Sudah begitu Yuda sepertinya belum puas juga. Dia masih meneror kami dengan sindiran-sindiran sinis bernada ceria. Sering memanggilku dengan sebutan Sayang dalam berbagai kesempatan kecuali pada saat ayahandanya hadir, merebakkan isu sesat kalau kami sedang menjalin cinta. Cinta? Cuih!! Kadang dengan sengaja dia mengajakku kencan semalam di depan Rio! Aku tahu dia sengaja memancing reaksi kami berdua yang ternyata sama-sama dingin. Tapi Rio tidak bisa menyembunyikan kemasaman di wajahnya tiap kali sang adik ipar mendekat dengan wajah inosen.

Hubunganku dengan Rio ada pada titik beku. Di hari pertama dia masuk kerja sepulangnya dari honeymoon, kami bertengkar hebat. Dia marah sekali karena posisinya terancam oleh kemunculan tiba-tiba sang adik ipar yang mengetahui boroknya. Ditambah lagi karena aku mengadu kelamin dengan pesaing utamanya di atas ranjang pengantinnya. Dia bilang, Dina marah sekali melihat ranjang indah itu berantakan, akibatnya honeymoon mereka menjadi kacau karena mood mereka menjadi tidak karuan. Lucu. Dia pikir aku sedih kalau mereka ribut? Justru aku senang. Karena itu aku tidak mau lagi minta maaf padanya dan kukatakan kalau aku akan mengundurkan diri sesudah kampanye dua produk baru itu beres. Sejak itu kami saling menjaga jarak dan memasang topeng setebal mungkin tiap kali bersua, bertatap mata maupun bertegur sapa. Seakan sejarah panjang hubungan kami terhapus tanpa jejak meninggalkan jurang lebar dalam di antara kami berdua. Dan aku tidak ingin bunuh diri dengan terjun ke dalamnya.

Akhirnya kusadari kalau riwayat karirku habis sudah setelah Pak Deddy menjatuhkan ‘hukuman’ bagiku. Belum pernah dalam sejarah PT. Banyu Biru, seorang VP Sales & Marketing harus mengikuti kampanye produk baru non stop di lapangan tanpa mendapat fasilitas lebih. Tadinya aku tidak begitu peduli karena kupikir ini adalah pekerjaan terakhir sebelum aku pergi sekaligus kesempatan untuk menyingkir dari hadapan dua lelaki yang sudah membuat hidupku kacau. Namun desas-desus yang ngaco-belo itu rupanya sudah menyebar ke seluruh cabang, membuatku capek harus berkali-kali menjelaskan pada para kolega dan partner bisnis kalau aku bukan kekasih baru sang pewaris perusahaan.

Kini aku terlunta-lunta sendirian di sebuah hotel bintang tiga di Surabaya. Bukannya tim kampanye sengaja meninggalkanku, tapi memang aku yang dengan sukarela minta ditinggal. Setelah tiga kali delay, pesawat yang seharusnya kami tumpangi 14 jam yang lalu akhirnya menyerah pada kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki dalam waktu singkat. Semua penumpang baik yang pasrah maupun yang sempat mengamuk dibagi dalam beberapa rombongan untuk diangkut beberapa penerbangan maskapai tersebut ke Jakarta. Aku memilih giliran terakhir, besok pagi. Aku butuh waktu sendirian untuk memikirkan masa depanku.

Sesungguhnya aku tidak ingin pulang. Bukan karena tempat ini begitu mempesona hingga membuatku terbius, tapi karena aku ingin bersembunyi di sini. Di Jakarta hanya ada seseorang yang menungguku pulang. Dia Atik, pembantuku yang genit yang bisa jadi sedang mengajak pacarnya berasyik-masyuk di dalam kamar tidurku.

Fokus, May. Apa yang akan kamu lakukan? Mau mengirim lamaran kerja ke mana saja?

Keluh panjang keluar dari mulutku, membuat layar laptopku berembun. Sudah hampir satu jam aku duduk bengong karena otakku begitu keruh. Padahal aku sudah dua kali masturbasi. Mungkin harus tiga kali baru manjur.

Baru saja kucopot celana dalam, pintu kamarku diketuk. Huh! Mengganggu saja! Siapa sih yang mencariku? Apa Retno ketinggalan handphone-nya lagi? Aku tertegun begitu melihat siapa yang datang dari lubang intip. Astaga! Apa aku tidak salah lihat?

“Yakuza. Kita harus bicara. Please. Biarkan aku masuk.”

Damn! Baru sebulan tidak berjumpa, dia makin ganteng saja. Oke, kurasa tidak ada salahnya mengijinkan Rio masuk mumpung aku sedang ingin dipuaskan.

Memangnya dia masih mau memuaskanmu?

Iya juga sih. Tapi apa aku harus menyetrapnya di luar supaya dia tahu bagaimana rasanya disia-siakan? Nanti malah menarik perhatian orang. Omong-omong, bagaimana dia tahu kalau aku terdampar di sini? Oh, rupanya dia langsung menjelaskan. Jadi anak-anak yang melapor padanya. Lalu dia kemari karena ingin menjadi pahlawan?


“Kenapa lama sekali sih membukakan pintu? Aneh, seharusnya aku yang lebih marah darimu, tapi malah kamu yang ngambek.”

“Jadi aku nggak boleh marah? Pulang sana! Nanti istrimu mar…”

“Pentilmu kok nongol padahal kamu pakai BH. Celana pendekmu juga miring sebelah. Kamu pasti lagi horny berat. Baru mau masturbasi? Yang keberapa kali?”

Kupingku langsung terasa panas, mukaku pasti memerah dalam sekejap. Sialan, dia benar-benar mengenalku. Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah memelukku, melumat bibirku dengan penuh gairah hingga aku terengah. Amarahku menyurut dengan cepat digantikan libido. Seperti biasa kami saling meraba, meremas sementar bibir dan lidah kami saling melibat dengan seru. Mendadak dia melepaskanku, memandangiku lalu…

“Eh, kamu mau apa!” seruku kaget ketika tubuhku tiba-tiba digendongnya.

Dia tidak menjawab melainkan terus melangkah ke arah ranjang dengan langkah lebar. Dibaringkannya aku di sana dan dilucutinya pakaianku satu-persatu. Mulanya kaus poloku ditarik melewati kepala, disusul BH berenda warna krem yang menutupi dadaku. Tangannya yang hangat meremas pelan kedua payudaraku sebelum mengemutnya dengan gemas, membuatku mengerang pelan. Dia membuka kemejanya sebelum melolosi celana pendek dan celana dalamku.

Sengaja kukangkangkan kakiku untuk menggodanya. Dan dia menyambutnya dengan menjilati selangkanganku sembari mencopot celana jeans dan celana dalamnya.

“Nghhh… Terus…. Lagi…”

Desahan nikmat terus meluncur dari mulutku tanpa henti. Kedua tangannya memegangi kedua pahaku dengan mantap sehingga gelinjang tubuhku tidak membuat lepas tautan lidahnya yang mengeksplorasi area alat vitalku dengan intens. Ketika klimaks itu datang, kedua tanganku mencengkeram seprai menahan liukan liar tubuhku diiringi jeritan keras.

Rio menaikiku, mencium bibirku, membuatku ikut merasakan gurihnya cairan produksi vaginaku sendiri. Penisnya yang mengeras menekan pahaku. Kali ini dia tidak terburu-buru menggarapku. Dia terus menelusuri wajahku dengan bibirnya sementara kedua tangannya menjelajah, meremas dan memeluk tubuhku.

“I miss you, Yakuza.”

Bisikan itu terdengar begitu sungguh-sungguh, membuatku tidak bisa untuk tidak membalasnya.

“Ohhh… Rio…”

Ada kelegaan yang amat sangat saat batang keras itu akhirnya menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku. Ragaku sampai menggeletar oleh orgasme kecil. Pejantanku sepertinya ikut merasakan apa yang kurasakan. Dia tersenyum dan menyibakkan rambut yang menutupi mataku. Dia meneruskan menggoyang tubuhku sambil terus memandangi wajahku yang ekspresif. Sesekali dia menunduk untuk mengulum bibirku yang terbuka, membungkam erangan, desahan dan jeritan yang keluar.

Kurengkuh dan kupeluk lehernya menyambut orgasme kedua yang hampir tiba. Aku ingin dia mendengar erangan penuh kepuasan tepat di telinganya. Kuserbu kemaluannya dengan pijatan-pijatan ritmis dan tak lama kemudian lenguhan kami bersahutan. Pelukanku terlepas dan aku tergeletak kembali di ranjang dengan dada naik-turun. Rio menyempatkan diri mengenyot kedua payudaraku sebelum mengangkat kedua kakiku dan menyampirkan ke pundaknya.

“Aaahhh…”

Aku mulai menyuarakkan desahan-desahan sensual tanpa rekayasa karena penisnya dengan telak menggesek-gesek G-spot ku. Kedua tanganku memegangi lengannya dengan erat. Sesekali kutahan tubuhku agar gesekan itu makin terasa dalam, menyundul bibir rahimku. Membuat liang sanggamaku makin becek, memperdengarkan bunyi kecipak yang teratur.

Puncak kenikmatan yang ketiga belum kuraih ketika Rio menyodokkan senjatanya dalam-dalam diikuti lenguhan keras. Tidak masalah bagiku, toh aku sudah menikmatinya dua kali sebelumnya. Kehangatan pelukan dan kelembutan belaian tangannya terasa lebih berarti bagiku.

“Rio… kenapa sih kam…mmmph…”

“Tadi kamu belum sampai klimaks kan?”

Bisikannya membuat telingaku panas, sepanas tubuhku yang kembali digerayanginya. Di saat satu tangannya meremas payudaraku, yang lainnya mengobok-obok kemaluanku yang kuyup. Melihatku mulai menggeliat-geliat liar, kocokan tangannya makin menggila. Ketika kepuasan yang tertunda itu akhirnya kucapai, dia tampak jauh lebih puas daripadaku.

Kemudian kami kembali berbaring bersebelahan dalam diam. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar seakan sarang laba-laba di sudut plafon gipsum itu begitu menarik perhatiannya.

“Pulanglah. Aku akan baik-baik saja,” ujarku pelan.

Dia menoleh, tersenyum lalu mengacak-acak rambutku. Diraihnya kelingking kananku yang buntung lalu dikecupnya pelan. Hatiku yang mengembang langsung kempes begitu melihat cincin kawinnya melingkar rapi di jari manis kanannya. Ingin kutanyakan soal Dina, tapi aku tidak ingin merusak suasana romantis ini. Aku ingin momen ini bisa bertahan lebih lama, kalau bisa untuk selamanya. Rasanya dunia hanya milik kami berdua.

Semalaman dia menemaniku telanjang, mengerang dan menggelinjang di atas ranjang, merayakan perdamaian kami. Aku tidak jadi mengundurkan diri, kami berdua akan bahu-membahu menghadapi sepak terjang Yuda dan meneruskan kebiasaan mencuri-curi kesempatan demi kenikmatan yang menegangkan.

Ya, aku tahu, hatiku terlalu lemah, terlalu cepat menyerah pada cinta yang membius, nostalgia yang melenakan dan nafsu membara yang memabukkan sehingga pengoyak hatiku mendapat pengampunan tulus tanpa adanya kata minta maaf yang terucap. Mestinya aku tidak begitu lembek, mau saja menjadi orang ketiga tanpa menuntut hak lebih apalagi ultimatum. Bohong kalau kubilang tidak ingin mendepak Dina pergi dan menggantikan posisinya sebagai pendamping resmi Rio. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Bukan, bukan tidak bisa, tapi aku tidak berani…

* * *


“Sorry. Sampai di mana ya obrolan kita tadi?”

Aku tersenyum pasrah memandangi Blackberry Bold milik penghuni hatiku yang baru saja diletakkannya di samping piring kecil berisi sepotong cheese cake. Sudah menjadi hal yang biasa bagiku untuk diinterupsi oleh obrolan mesra antara dia dan istrinya.

“It’s okay. Kalau kamu harus pulang, aku bisa mengerti kok.”

“Nggak perlu. Dina sedang shopping dengan teman-temannya.”

“Perlengkapan bayi, ya?”

Rio mengangkat bahu dengan sikap acuh tak acuh. Bila kami sedang berduaan, dia selalu berusaha tampak cuek atas kehamilan istrinya karena takut membuatku sedih. Aku masih ingat bagaimana dia menyampaikan kabar gembira tersebut beberapa minggu yang lalu. Kalimat-kalimat yang sudah disusunnya dengan rapi itu terucap dengan perlahan dan penuh kehati-hatian. Sedihkah aku? Sudah pasti, tapi aku lebih terenyuh melihat kegembiraan yang dengan susah payah dipendamnya.

“Yakuza.”

Aku mendongak. Sepasang mata cokelat tua yang indah itu menatapku hangat. Tangannya mampir di kepalaku, mengacaukan rambutku tanpa alasan jelas. Aku tertawa kecil. Tanganku meraih kepalanya berusaha membalas dendam, tapi dengan tangkas ditangkapnya. Dielusnya kelingkingku yang tidak utuh itu dengan lembut.

“Jadi seperti ini yang namanya kick-off meeting??”

Kami tersentak dan menatap sumber suara dengan nanar. Oh.. my… God!! Dina berdiri di depan meja kami. Dia tidak sendirian. Tiga-empat temannya yang semuanya mirip Barbie berdiri di belakangnya. Seperti mendengar aba-aba, pada saat yang sama dengan kompak aku dan Rio langsung beringsut menjauh dan menarik kedua tangan yang tadinya saling menggenggam.

“Ternyata anak pembantu itu nggak bohong. Brengsek kamu, Rio!”

Anak pembantu. Wajah Yuda langsung melintas di benakku disusul percakapan kami dua minggu yang lampau.

“Ternyata kamu jauh lebih goblok dari dia.”

“Semua orang goblok karena memang nggak ada semahapintar kamu, Yud.”

“Aneh, cewek pemberani seperti kamu kok beraninya main petak umpet. Apa cuma nafsumu yang besar, Sayang? Apa ya yang akan Dina lakukan kalau dia sampai tahu pesaingnya ternyata hanya seorang perempuan kecil bernyali dan bertetek kecil.”

“Wah, selamat ya. Ternyata kamu sudah berhasil mengajak bicara kakakmu. Apa dia sudah berhenti memanggilmu anak pembantu?”

Saking murkanya, dia sampai tidak bisa mengatakan apa-apa. Wajahnya yang pucat dan matanya yang menyala-nyala membuatku takut. Aku tahu, seharusnya aku tidak membuatnya marah, tapi dia yang memulainya lebih dulu. Dan sekarang apa yang harus kulakukan?

“Bitch!”

Aku hanya diam terpaku, pasrah menerima siraman ice lemon tea yang dingin dan lengket. Potongan es batu hampir mencolok mataku. Lalu ada yang menjambak rambutku, menempelengku. Rio mencoba menyelamatkanku dengan menahan amukan istrinya yang jelita, tapi jumlah mereka lebih banyak.

“Pergi, May. Cepat.”

Tanpa disuruh dua kali aku berlari terbirit-birit. Nyaris terjerembab karena tersandung kaki meja lalu menabrak kerumunan waiter yang berkumpul di dekat pintu keluar café yang sepi ini. Aku baru sadar, tasku masih berada di dalam.
Read Full 0 komentar

Koleksi Gambar Gw...

 

Free Blog Templates

Powered By Blogger

Easy Blog Trick

Powered By Blogger

Blog Tutorial

Powered By Blogger

© 3 Columns Newspaper Copyright by Kumpulan Cerita Dewasa cerita panas cerita sek serta koleksi gambar - gambar untuk 17 tahun + | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks